Tahukah Anda kenapa barang di minimarket/swalayan harganya lebih mahal dibanding harga toko biasa? Ya, tepat! Lantaran kita turut membeli kenyamanan.
Nah sebenarnya, mengapa minimarket/swalayan menawarkan kenyamanan pada kita?
Belakangan, setelah saya melakukan investigasi di beberapa minimarket/swalayan dan mendapati kecurangan-kecurangan yang mereka lakukan (akan saya bahas kapan-kapan tentang kecurangan-kecurangan ini), saya enggan masuk ke minimarket/swalayan untuk belanja, kecuali amat sangat kepepet.
Kondisi kepepet yang saya maksud seperti, barang yang saya butuhkan hanya dijual di sana, kondisi cuaca, waktu, dan urgensi dari barang yang saya butuhkan. Sekarang, saya lebih suka menyambangi toko-toko kelontong atau toko grosir di pasar.
Apa kepuasan yang saya dapatkan? Pertama, mengetahui bahwa saya telah berhemat sepertiga persen dari biasanya. Itu kepuasan tersendiri untuk saya sebagai orang yang (bukan) kaya. Kedua, harga label dengan banyaknya nominal yang saya keluarkan sama.
Sebenarnya apa yang membuat toko kelontong dan toko grosir menetapkan harga yang lebih murah dari minimarket/swalayan? Mereka sama sekali tidak menawarkan kenyamanan dalam berbelanja.
Kita tidak akan menemukan sejuknya AC yang membuat kita betah berkeliling, rak-rak yang berjajar rapi atau kantong belanja bersih dengan cetakan nama toko. Tidak. Kita tidak mendapatinya. Namun, apa sebenarnya yang tersembunyi di balik kenyamanan yang ditawarkan minimarket/swalayan itu? Perilaku konsumtif.
Berbelanja di supermarket, meski dengan harga yang jauh lebih mahal, mengapa lebih dipilih? Pertama, karena kita tidak menyadari bahwa korporat sedang menggiring perilaku kita ke arah konsumtif. "Ayo berbelanja terus, di sini nyaman!" begitu kira-kira bisikannya ketika dingin AC menyentuh kulit kita. Kenyamanan berupa kondisi ruangan membuat kita betah 'berbelanja'. Itu berarti kita diberi ruang untuk berlama-lama melakukan negosiasi dengan 'nafsu' kita. Banyak barang-barang yang sesungguhnya tidak kita perlukan akhirnya masuk ke dalam keranjang.
Rak-rak yang berjajar rapi itu sesungguhnya memberi dilema tersendiri. Selain memudahkan pencarian barang, kadang-kadang kita dibuat untuk tidak loyal pada satu merk.
Kita dihadapkan pada banyaknya pilihan. Naluri untuk selalu 'mencoba yang baru' terombang-ambing di sini.
Minimarket/swalayan mencitrakan diri mereka sebagai tempat yang bersih dan 'berkelas' dengan bangunan beralas keramik, penerangan super, bebas debu, dan kantong belanja yang membuat sebagian orang merasa 'lebih bangga' bila menenteng plastik putih bertuliskan nama minimarket/swalayan tertentu. Permainan psikologis semacam inilah yang dibidik.
Gambar diambil dari sini.
Sebagian orang takut berbelanja di toko kelontong/toko grosir lantaran dibekali dengan ketakutan-katakutan yang lebih dulu disiarkan melalui televisi perihal produk palsu, tanggal kadaluwarsa yang tidak diperhatikan, dan tidak mempertimbangkan segi kebersihan.
Sesungguhnya itu tidak benar-benar terbukti. Dan bila kita sadar, tayangan-tayangan investigasi tersebut merupakan 'pintu utama' yang membuat kita memusuhi toko kelontong dan pasar tradisional. Saya pun termasuk orang yang termakan pencitraan tersebut sebelum saya menemukan banyak keganjilan yang terjadi kemudian saya hubungkan dalam dinamika. Bila Anda mengetahuinya, saya yakin Anda akan bergidik.
Jadi sekarang Anda (paling tidak) tahu mengapa minimarket/swalayan melabeli produknya dengan lebih mahal. Seiring dengan hal itu, Anda pun harus tahu bahwa yang murah bukan berarti tidak sehat/palsu. Yang murah bisa jadi lantaran mereka tidak menawarkan 'modern' dalam dirinya.
Tetap sehat, tetap berbelanja dengan bijak.
0 Komentar
Silahkan berkomentar sesuai dengan judul artikel,
Kritik dan saran sangat membantu saya dalam memeperbaiki blog ini.
Terima kasih atas kunjungan anda...