Gajah Mada (wafat k. 1364) adalah seorang panglima perang dan
tokoh yang sangat berpengaruh pada zaman kerajaan Majapahit. Menurut
berbagai sumber mitologi, kitab, dan prasasti dari zaman Jawa Kuno, ia
memulai kariernya tahun 1313, dan semakin menanjak setelah peristiwa
pemberontakan Ra Kuti pada masa pemerintahan Sri Jayanagara, yang
mengangkatnya sebagai Patih. Ia menjadi Mahapatih (Menteri Besar) pada
masa Ratu Tribhuwanatunggadewi, dan kemudian sebagai Amangkubhumi
(Perdana Menteri) yang mengantarkan Majapahit ke puncak kejayaannya.
Meskipun ia adalah salah satu tokoh sentral saat itu, sangat sedikit
catatan-catatan sejarah yang ditemukan mengenai dirinya.
Tidak
ada informasi dalam sumber sejarah yang tersedia saat pada awal
kehidupannya, kecuali bahwa ia dilahirkan sebagai seorang biasa yang
naik dalam awal kariernya menjadi Begelen atau setingkat kepala pasukan
Bhayangkara pada Raja Jayanagara (1309-1328) terdapat sumber yang
mengatakan bahwa Gajah Mada bernama lahir Mada sedangkan nama Gajah Mada
kemungkinan merupakan nama sejak menjabat sebagai patih.
Dalam pupuh Désawarnana atau Nāgarakṛtāgama karya Prapanca yang
ditemukan saat penyerangan Istana Tjakranagara di Pulau Lombok pada
tahun 1894 terdapat informasi bahwa Gajah Mada merupakan patih dari
Kerajaan Daha dan kemudian menjadi patih dari Kerajaan Daha dan Kerajaan
Janggala yang membuatnya kemudian masuk kedalam strata sosial elitis
pada saat itu dan Gajah Mada digambarkan pula sebagai "seorang yang
mengesankan, berbicara dengan tajam atau tegas, jujur dan tulus ikhlas
serta berpikiran sehat".
Menurut Pararaton, Gajah Mada sebagai komandan pasukan khusus
Bhayangkara berhasil memadamkan Pemberontakan Ra Kuti, dan menyelamatkan
Prabu Jayanagara (1309-1328) putra Raden Wijaya dari Dara Petak.
Selanjutnya di tahun 1319 ia diangkat sebagai Patih Kahuripan, dan dua
tahun kemudian ia diangkat sebagai Patih Kediri.
Pada tahun 1329, Patih Majapahit yakni Arya Tadah (Mpu Krewes) ingin
mengundurkan diri dari jabatannya. Dan menunjuk Patih Gajah Mada dari
Kediri sebagai penggantinya. Patih Gajah Mada sendiri tak langsung
menyetujui, tetapi ia ingin membuat jasa dahulu pada Majapahit dengan
menaklukkan Keta dan Sadeng yang saat itu sedang memberontak terhadap
Majapahit. Keta dan Sadeng pun akhirnya dapat ditaklukan. Akhirnya, pada
tahun 1334, Gajah Mada diangkat menjadi Mahapatih secara resmi oleh
Ratu Tribhuwanatunggadewi (1328-1351) yang waktu itu telah memerintah
Majapahit setelah terbunuhnya Jayanagara.
Sumpah Palapa
Pada waktu pengangkatannya ia mengucapkan Sumpah Palapa, yakni ia baru
akan menikmati palapa atau rempah-rempah yang diartikan kenikmatan
duniawi jika telah berhasil menaklukkan Nusantara. Sebagaimana tercatat
dalam kitab Pararaton berikut : “ Sira Gajah Mada pepatih amungkubumi
tan ayun amukti palapa, sira Gajah Mada: Lamun huwus kalah nusantara
ingsun amukti palapa, lamun kalah ring Gurun, ring Seram, Tañjungpura,
ring Haru, ring Pahang, Dompo, ring Bali, Sunda, Palembang, Tumasik,
samana ingsun amukti palapa ”
(Gajah Mada sang Maha Patih tak akan menikmati palapa, berkata Gajah
Mada “Selama aku belum menyatukan Nusantara, aku takkan menikmati
palapa. Sebelum aku menaklukkan Pulau Gurun, Pulau Seram, Tanjungpura,
Pulau Haru, Pulau Pahang, Dompo, Pulau Bali, Sunda, Palembang, Tumasik,
aku takkan mencicipi palapa).
Walaupun ada sejumlah (atau bahkan banyak) orang yang meragukan
sumpahnya, Patih Gajah Mada memang hampir berhasil menaklukkan
Nusantara. Bedahulu (Bali) dan Lombok (1343), Palembang, Swarnabhumi
(Sriwijaya), Tamiang, Samudra Pasai, dan negeri-negeri lain di
Swarnadwipa (Sumatra) telah ditaklukkan. Lalu Pulau Bintan, Tumasik
(Singapura), Semenanjung Malaya, dan sejumlah negeri di Kalimantan
seperti Kapuas, Katingan, Sampit, Kotalingga (Tanjunglingga),
Kotawaringin, Sambas, Lawai, Kandangan, Landak, Samadang, Tirem, Sedu,
Brunei, Kalka, Saludung, Solok, Pasir, Barito, Sawaku, Tabalung,
Tanjungkutei, dan Malano.
Di zaman pemerintahan Prabu Hayam Wuruk (1350-1389) yang menggantikan
Tribhuwanatunggadewi, Patih Gajah Mada terus mengembangkan penaklukan ke
wilayah timur seperti Logajah, Gurun, Sukun, Taliwung, Sapi, Gunungapi,
Seram, Hutankadali, Sasak, Bantayan, Luwuk, Makassar, Buton, Banggai,
Kunir, Galiyan, Salayar, Sumba, Muar (Saparua), Solor, Bima, Wandan
(Banda), Ambon, Wanin, Seran, Timor, dan Dompo.
Terdapat dua wilayah di Pulau Jawa yang terbebas dari invasi Majapahit
yakni Pulau Madura dan Kerajaan Sunda karena kedua wilayah ini mempunyai
keterkaitan erat dengan Narrya Sanggramawijaya atau secara umum disebut
dengan Raden Wijaya pendiri Kerajaan Majapahit (Lihat: Prasasti Kudadu
1294 dan Pararaton Lempengan VIII, Lempengan X s.d. Lempengan XII dan
Invasi Yuan-Mongol ke Jawa pada tahun 1293) sebagaimana diriwayatkan
pula dalam Kidung Panji Wijayakrama.
Perang Bubat
Dalam Kidung Sunda diceritakan bahwa Perang Bubat (1357) bermula saat
Prabu Hayam Wuruk hendak menikahi Dyah Pitaloka putri Sunda sebagai
permaisuri. Lamaran Prabu Hayam Wuruk diterima pihak Kerajaan Sunda, dan
rombongan besar Kerajaan Sunda datang ke Majapahit untuk melangsungkan
pernikahan agung itu. Gajah Mada yang menginginkan Sunda takluk, memaksa
menginginkan Dyah Pitaloka sebagai persembahan pengakuan kekuasaan
Majapahit. Akibat penolakan pihak Sunda mengenai hal ini, terjadilah
pertempuran tidak seimbang antara pasukan Majapahit dan rombongan Sunda
di Bubat, yang saat itu menjadi tempat penginapan rombongan Sunda. Dyah
Pitaloka bunuh diri setelah ayahanda dan seluruh rombongannya gugur
dalam pertempuran. Akibat peristiwa itu, Patih Gajah Mada dinonaktifkan
dari jabatannya.
Dalam Nagarakretagama diceritakan hal yang sedikit berbeda. Dikatakan
bahwa Hayam Wuruk sangat menghargai Gajah Mada sebagai Mahamantri Agung
yang wira, bijaksana, serta setia berbakti kepada negara. Sang raja
menganugerahkan dukuh “Madakaripura” yang berpemandangan indah di
Tongas, Probolinggo, kepada Gajah Mada. Terdapat pendapat yang
menyatakan bahwa pada 1359, Gajah Mada diangkat kembali sebagai patih,
hanya saja ia memerintah dari Madakaripura.
Akhir Hidup
Disebutkan dalam Negarakretagama bahwa sekembalinya Hayam Wuruk dari
upacara keagamaan di Simping, ia menjumpai bahwa Gajah Mada telah gering
(sakit). Gajah Mada disebutkan meninggal dunia pada tahun 1286 Saka
atau 1364 Masehi. Hayam Wuruk kemudian memilih enam Mahamantri Agung,
untuk selanjutnya membantunya dalam menyelenggarakan segala urusan
negara.
Penghormatan
Sebagai salah seorang tokoh utama Majapahit, nama Gajah Mada sangat
terkenal di masyarakat Indonesia pada umumnya. Pada masa awal
kemerdekaan, para pemimpin antara lain Soekarno dan Mohammad Yamin
sering menyebut sumpah Gajah Mada sebagai inspirasi dan "bukti" bahwa
bangsa ini dapat bersatu, meskipun meliputi wilayah yang luas dan budaya
yang berbeda-beda. Dengan demikian, Gajah Mada adalah inspirasi bagi
revolusi nasional Indonesia untuk usaha kemerdekaannya dari kolonialisme
Belanda.
Universitas Gadjah Mada di Yogyakarta adalah universitas negeri yang
dinamakan menurut namanya. Satelit telekomunikasi Indonesia yang pertama
dinamakan Satelit Palapa, yang menonjolkan perannya sebagai pemersatu
telekomunikasi rakyat Indonesia. Banyak kota di Indonesia memiliki jalan
yang bernama Gajah Mada, namun menarik diperhatikan bahwa tidak
demikian halnya dengan kota-kota di Jawa Barat.
Buku-buku fiksi kesejarahan dan sandiwara radio sampai sekarang masih
sering menceritakan Gajah Mada dan perjuangannya memperluas kekuasaan
Majapahit di nusantara dengan Sumpah Palapanya, demikian pula dengan
karya seni patung, lukisan, dan lain-lainnya.
0 Komentar
Silahkan berkomentar sesuai dengan judul artikel,
Kritik dan saran sangat membantu saya dalam memeperbaiki blog ini.
Terima kasih atas kunjungan anda...