Cerita tentang ego, manja, dan pencarian diri
Di sebuah desa tenang di Subang, tinggal seorang perempuan bernama Rani, anak sulung dari tiga bersaudara. Sejak kecil, hidup Rani berbeda dari adik-adiknya. Saat kedua orang tuanya memutuskan merantau ke Bandung demi mencari penghidupan yang lebih baik, Rani—yang saat itu baru berusia lima tahun—dititipkan kepada neneknya, Mak Ijah.
Nenek Ijah adalah wanita tua berhati lembut. Seluruh cintanya dicurahkan untuk cucu pertamanya. Apapun yang Rani inginkan, diberi. Jika ia menangis, langsung dipeluk. Jika ia marah, langsung dituruti. Rani tumbuh dengan keyakinan bahwa dunia memang seharusnya memanjakannya.
Sementara itu, dua adiknya, Dina dan Rendi, tinggal bersama orang tua mereka di kota. Mereka tumbuh dalam disiplin, dibiasakan mandiri sejak dini. Setiap mereka berkunjung ke rumah nenek di Subang, Rani selalu menunjukkan sikap seperti “tuan rumah”—menyuruh-nyuruh adiknya, enggan membantu, dan selalu ingin menang sendiri.
🗣️ “Aku nggak suka main di sawah! Kalian aja yang kotor-kotoran!”
🗣️ “Nenek, suruh si Dina cuci piring. Aku kan tamu!”
Dina dan Rendi hanya saling pandang. Mereka tahu, selama neneknya masih ada, Rani akan selalu merasa istimewa.
Tumbuh Menjadi Dewasa, Tapi Tidak Berkembang
Waktu berlalu. Rani kini berusia 26 tahun dan bekerja di sebuah butik kecil di Subang. Ia tetap tinggal bersama neneknya. Meski secara usia dewasa, sikapnya tidak banyak berubah. Ia masih keras kepala, tidak bisa menerima kritik, dan merasa paling benar. Ia sering memarahi rekan kerjanya hanya karena urusan sepele.
👩🦱 “Kenapa baju ini digantung di situ? Aku ‘kan udah bilang mau di rak tengah!”
👩🦰 “Tapi pelanggan tadi—”
👩🦱 “Nggak ada tapi! Pokoknya ikutin aku!”
Karena sikapnya yang sulit, banyak orang mulai menjauh. Ia tidak punya teman dekat, dan sering berpindah-pindah tempat kerja. Tapi Rani tidak peduli. Dalam hatinya, ia yakin semua masalah itu karena orang lain tidak bisa “mengerti” dirinya.
Sementara itu, Dina sudah bekerja sebagai perawat dan tinggal di Bandung. Rendi sedang kuliah teknik sipil semester akhir. Meski jauh, mereka sering pulang ke Subang untuk menjenguk nenek.
Saat Hidup Memberi Pelajaran
Suatu malam, Rani menerima telepon dari tetangga. “Rani, nenekmu pingsan di dapur barusan. Kami bawa ke klinik,” katanya.
Rani panik. Ia bergegas ke klinik. Di sana, neneknya sudah terbaring lemah. Dina dan Rendi pun datang menyusul.
Dalam diam, mereka saling menatap. Rani merasa canggung, apalagi ketika Dina mengambil alih semua urusan—menyusun jadwal kontrol, mengatur obat, bahkan berbicara dengan dokter dengan tenang dan tegas. Rani hanya duduk terdiam. Untuk pertama kalinya, ia merasa... tidak tahu harus berbuat apa.
💬 “Kamu nggak tahu obat ini buat apa?” tanya Rendi pelan.
Rani menggeleng.
💬 “Nenek tinggal sama kamu setiap hari…”
Rani menunduk. Hatinya terasa perih. Apakah selama ini ia terlalu sibuk dengan dirinya sendiri?
Permintaan Terakhir Nenek
Beberapa hari kemudian, neneknya terbangun dan memanggilnya. Dengan suara lemah, ia berkata:
“Nenek minta maaf ya, Rani… mungkin karena terlalu menyayangimu, kamu jadi begini. Dulu nenek cuma nggak mau kamu merasa kehilangan. Tapi ternyata, yang hilang malah jadi dirimu sendiri…”
Air mata Rani jatuh. Kata-kata itu seperti membuka luka yang selama ini tak disadarinya. Ia tak bisa berkata apa-apa, hanya memeluk neneknya erat.
🌅 Epilog
Beberapa bulan setelah neneknya meninggal, Rani memutuskan untuk pindah ke Bandung dan tinggal bersama Dina. Hubungan mereka mulai membaik. Meski sulit, Rani mulai belajar menurunkan egonya—belajar mencuci piring sendiri, merapikan tempat tidur, bahkan mendengar tanpa menyela.
Ia tahu, proses itu panjang. Tapi setidaknya, kini ia sadar:
Kemanjaan bukan cinta sejati jika tidak dibarengi dengan tanggung jawab.
Dan menjadi dewasa bukan hanya soal usia—tapi soal berani mengubah diri, walau terlambat.
🌟 Pesan Moral 🌟
Terlalu dimanja tanpa batas bisa membuat seseorang tumbuh tanpa kemampuan menghadapi realita. Cinta sejati adalah yang membentuk, bukan hanya memberi.
Keras kepala dan ego yang dipelihara sejak kecil harus disadari dan dilawan oleh diri sendiri—karena tidak semua dunia akan memperlakukan kita seperti nenek di rumah.
0 Komentar
Silahkan berkomentar sesuai dengan judul artikel,
Kritik dan saran sangat membantu saya dalam memeperbaiki blog ini.
Terima kasih atas kunjungan anda...