- Bratasena
- Balawa
- Birawa
- Dandungwacana
- Nagata
- Kusumayuda
- Kowara
- Bima
- Pandusiwi
- Bayusuta
- Sena
- Wijasena
- Jagal Abilawa
Raden Werkudara atau Bima merupakan putra kedua dari Dewi Kunti dan
Prabu Pandudewanata. Tetapi ia sesungguhnya adalah putra Batara Bayu dan
Dewi Kunti sebab Prabu Pandu tidak dapat menghasilkan keturunan. Ini
merupakan kutukan dari Begawan Kimindama. Namun akibat Aji Adityaredhaya
yang dimiliki oleh Dewi Kunti, pasangan tersebut dapat memiliki
keturunan.
Pada saat lahirnya, Werkudara berwujud bungkus. Tubuhnya diselubungi oleh selaput tipis yang tidak dapat disobek oleh senjata apapun. Hal ini membuat pasangan Dewi Kunthi dan Pandu sangat sedih. Atas anjuran dari Begawan Abiyasa, Pandu kemudian membuang bayi bungkus tersebut di hutan Mandalasara. Selama delapan tahun bungkus tersebut tidak pecah-pecah dan mulai berguling kesana kemari sehingga hutan yang tadinya rimbun menjadi rata dengan tanah. Hal ini membuat penghuni hutan kalang kabut. Selain itu para jin penghuni hutan pun mulai terganggu, sehingga Batari Durga, ratu dari semua makhluk halus, melapor pada Batara Guru, raja dari semua dewa. Lalu, raja para dewa itu memerintahkan Batara Bayu, Batari Durga, dan Gajah Sena, anak dari Erawata, gajah tunggangan Batara Indra, serta diiringi oleh Batara Narada untuk turun dan memecahkan bungkus bayi tersebut.
Pada saat lahirnya, Werkudara berwujud bungkus. Tubuhnya diselubungi oleh selaput tipis yang tidak dapat disobek oleh senjata apapun. Hal ini membuat pasangan Dewi Kunthi dan Pandu sangat sedih. Atas anjuran dari Begawan Abiyasa, Pandu kemudian membuang bayi bungkus tersebut di hutan Mandalasara. Selama delapan tahun bungkus tersebut tidak pecah-pecah dan mulai berguling kesana kemari sehingga hutan yang tadinya rimbun menjadi rata dengan tanah. Hal ini membuat penghuni hutan kalang kabut. Selain itu para jin penghuni hutan pun mulai terganggu, sehingga Batari Durga, ratu dari semua makhluk halus, melapor pada Batara Guru, raja dari semua dewa. Lalu, raja para dewa itu memerintahkan Batara Bayu, Batari Durga, dan Gajah Sena, anak dari Erawata, gajah tunggangan Batara Indra, serta diiringi oleh Batara Narada untuk turun dan memecahkan bungkus bayi tersebut.
Sebelum dipecahkan, Batari Durga masuk kedalam bungkus dan memberi
sang bayi pakaian yang berupa, Kain Poleng Bang Bintulu (dalam kehidupan
nyata, banyak ditemui di pulau Bali sebagai busana patung-patung yang
danggap sakral (kain poleng= kain kotak-kotak berwarna hitam dan putih),
Gelang Candrakirana, Kalung Nagabanda, Pupuk Jarot Asem dan Sumping
(semacam hiasan kepala) Surengpati. Setelah berbusana lengkap, Batari
Durga keluar dari tubuh Bima, kemudian giliran tugas Gajah Sena
memecahkan bungkus dari bayi tersebut. Oleh Gajah Sena kemudian bayi
tersebut di tabrak, di tusuk dengan gadingnya dan diinjak-injak.,
anehnya bukannya mati tetapi bayi tersebut kemudian malah melawan,
setelah keluar dari bungkusnya. Sekali tendang, Gajah Sena langsung mati
dan lalu menunggal dalam tubuh si bayi. Lalu bungkus dari Werkudara
tersebut di hembuskan oleh Batara Bayu sampai ke pangkuan Begawan
Sapwani, yang kemudian dipuja oleh pertapa tersebut menjadi bayi gagah
perkasa yang serupa Bima. Bayi tersebut kemudian diberi nama Jayadrata
atau Tirtanata.
Nama-nama lain bagi Bima adalah Bratasena (nama yang di gunakan
sewaktu masih muda), Werkudara yang berarti perut srigala, Bima,
Gandawastratmaja, Dwijasena, Arya Sena karena di dalam tubuhnya
menunggal tubuh Gajah Sena, Wijasena, Dandun Wacana, di dalam tubuhnya
menunggal raja Jodipati yang juga adik dari Prabu Yudistira, Jayadilaga,
Jayalaga, Kusumayuda, Kusumadilaga yang artinya selalu menang dalam
pertempuran, Arya Brata karena ia tahan menderita, Wayunendra, Wayu
Ananda, Bayuputra, Bayutanaya, Bayusuta, Bayusiwi karena ia adalah putra
batara Bayu, Bilawa, nama samaran saat menjadi jagal di Wiratha, Bondan
Peksajandu yang artinya kebal akan segala racun, dan Bungkus yang
merupakan panggilan kesayangan Prabu Kresna.
Karena Bima adalah putra Batara Bayu, maka ia memiliki kesaktian
untuk menguasai angin. Werkudara memiliki saudara Tunggal Bayu yaitu,
Anoman, Gunung Maenaka, Garuda Mahambira, Ular Naga Kuwara,Liman/ Gajah
Setubanda, Kapiwara, Yaksendra Yayahwreka, dan Pulasiya yang menunggal
dalam tubuh Anoman sesaat sebelum perang Alengka terjadi (zaman
Ramayana).
Werkudara yang bertubuh besar ini memiliki perwatakan berani, tegas,
berpendirian kuat, teguh iman. Selama hidupnya Werkudara tidak pernah
berbicara halus kepada siapapun termasuk kepada orang tua, dewa, dan
gurunya, kecuali kepada Dewa Ruci, dewanya yang sejati, ia berbicara
halus dan mau menyembah.
Selama hidupnya Werkudara berguru pada Resi Drona untuk olah batin
dan keprajuritan, Begawan Krepa, dan Prabu Baladewa untuk ketangkasan
menggunakan gada. Dalam berguru Werkudara selalu menjadi saingan utama
bagi saudara sepupunya yang juga sulung dari Kurawa yaitu Duryudana.
Para Kurawa selalu ingin menyingkirkan Pandawa karena menurut mereka
Pandawa hanya menjadi batu sandungan bagi mereka untuk mengusasai
kerajaan Astina. Kurawa menganggap kekuatan Pandawa terletak pada
Werkudara karena memang ia adalah yang terkuat diantara kelima Pandawa,
sehingga suatu hari atas akal licik Patih Sengkuni yang mendalangi para
Kurawa merencanakan untuk meracun Werkudara. Kala itu saat Bima sedang
bermain, dpanggilnya ia oleh Duryudana dan diajak minum sampai mabuk
dimana minuman itu di beri racun. Setelah Werkudara jatuh tak sadarkan
diri, ia di gotong oleh para kurawa dan dimasukkan kedalam Sumur
Jalatunda dimana terdapat ribuan ular berbisa di sana. Kala itu,
datanglah Sang Hyang Nagaraja, penguasa Sumur Jalatunda membantu
Werkudara, lalu olehnya Werkudara diberi kesaktian agar kebal akan bisa
apapun dan mendapat nama baru dari San Hyang Nagaraja yaitu Bondan
Peksajandu.
Akal para Kurawa untuk menyingkirkan Pandawa belum habis, mereka lalu
menantang Yudistira untuk melakukan timbang yang menang akan mendapatkan
Astina seutuhnya. Jelas saja Pandawa akan kalah karena seratus satu
orang melawan lima, namun Werkudara memiliki akal, ia meminta kakaknya
menyisakan sedikit tempat buat dirinya. Werkudara lalu mundur beberapa
langkah, lalu meloncat dan menginjak tempat yang disisakan kakaknya,
sesaat itu pulalah, para Kurawa yang duduk paling ujung menjadi
terpental jauh. Para Kurawa yang terpental sampai ke negri-negri sebrang
itu yang kemudian dalam Baratayuda dinamai “Ratu Sewu Negara.”
Diantaranya adalah Prabu Bogadenta dari kerajaan Turilaya, Prabu
Gardapati dari kerajaan Bukasapta, Prabu Gardapura yang menjadi
pendamping Prabu Gardapati sebagai Prabu Anom, Prabu Widandini dari
kerajaan Purantura, dan Kartamarma dari kerajaan Banyutinalang. Cerita
ini dikemas dalam satu lakon yang dinamai Pandawa Timbang.
Belum puas dengan usaha-usaha mereka, Kurawa kembali ingin mencelakakan
Pandawa lewat siasat licik Sengkuni. Kali ini Para Pandawa diundang
untuk datang dalam acara penyerahan kekuasaan Amarta dan di beri suatu
pesanggrahan yang terbuat dari kayu yang bernama Bale Sigala-gala. Acara
penyerahan tersebut diulur-ulur hingga larut malam dan para Pandawa
kembali di buat mabuk. Setelah para Pandawa tertidur, hanya Bima yang
masih terbangun karena Bima menolak untuk ikut minum- minuman keras.
Pada tengah malam, Para Kurawa yang mengira Pandawa telah tidur mulai
membakar pesanggrahan. Sebelumnya Arjuna memperbolehkan enam orang
pengemis untuk tidur dan makan di dalam pesanggrahan karena merasa
kasihan. Saat kebakaran terjadi Bima langsung menggendong ibu, kakak,
dan adik-adiknya kedalam terowongan yang telah dibuat oleh Yamawidura,
yang mengetahui akal licik Kurawa. Mereka lalu dibimbing oleh garangan
putih yang merupakan jelmaan dari Sang Hyang Antaboga. Sampai di
kayangan Sapta Pratala. Di sini Werkudara kemudian berkenalan dan
menikah dengan putri Sang Hyang Antaboga yang beranama Dewi Nagagini.
Dari perkawinan itu mereka memiliki sorang putra yang kelak menjadi
sangat sakti dan ahli perang dalam tanah yang dinamai Antareja. Setelah
para Pandawa meninggalkan kayangan Sapta Pratala, mereka memasuki hutan.
Di tengah Hutan para Pandawa bertemu dengan Prabu Arimba yang merupakan
putra dari Prabu Tremboko yang pernah dibunuh Prabu Pandu atas hasutan
Sengkuni. Mengetahui asal usul para Pandawa, Prabu Arimba kemudian ingin
membunuh mereka, tetapi dapat dihalau dan akhirnya tewas di tangan
Werkudara. Namun Adik dari Prabu Arimba bukannya benci tetapi malah
menaruh hati pada Werkudara. Sebelum mati Prabu Arimba menitipkan
adiknya Dewi Arimbi kepada Werkudara. Karena Arimbi adalah seorang
rakseksi, maka Werkudara menolak cintanya. Lalu Dewi Kunti yang melihat
ketulusan cinta dari Dewi Arimbi bersabda, “ Duh ayune, bocah iki…” (Duh
cantiknya, anak ini..!) Tiba-tiba, Dewi Arimbi yang buruk rupa itu
menjadi cantik dan lalu diperistri oleh Werkudara. Pasangan ini akhirnya
memiliki seorang putra yang ahli perang di udara yang dinamai
Gatotkaca. Gatotkaca lalu juga diangkat sebagai raja di Pringgandani
sebagai pengganti pamannya, Prabu Arimba.
Pada saat berada di hutan setelah kejadian Bale Sigala-gala, ibunya
meminta Werkudara dan Arjuna untuk mencari dua bungkus nasi untuk Nakula
dan Sadewa yang kelaparan. Werkudara datang kesebuah negri bernama
Kerajaan Manahilan dan di sana ia menjumpai Resi Hijrapa dan istrinya
yang menangis. Saat ditanyai penyebabnya, mereka menjawab bahwa putra
mereka satu satunya mendapat giliran untuk dimakan oleh raja di negri
tersebut. Raja dari negri tersebut yang bernama Prabu Baka atau Prabu
Dawaka memang gemar memangsa manusia. Tanpa pikir panjang, Werkudara
langsung menawarkan diri sebagai ganti putra pertapa tersebut. Saat
dimakan oleh Prabu Baka, bukannya badan dari Werkudara yang sobek tetapi
gigi dari Prabu Baka yang putus. Hal ini menyebabkan murkanya Prabu
Baka. Tetapi dalam perkelahian melawan Werkudara, Prabu Baka tewas dan
seluruh rakyat bersuka ria karena raja mereka yang gemar memangsa
manusia telah meninggal. Oleh rakyat negri tersebut Werkudara akan
dijadikan raja, namun Werkudara menolak. Saat ditanyai apa imbalan yang
ingin diperoleh, Werkudara menjawab ia hanya ingin dua bungkus nasi.
Lalu setelah mendapat nasi tersebut Werkudara kembali ke hutan dan kelak
keluarga pertapa itu bersedia menjadi tumbal demi kejayaan Pandawa di
Baratayuda Jayabinangun. Sementara Arjuna juga berhasil mendapatkan dua
bungkus nasi dari belas kasihan orang. Dewi Kunti pun berkata “Arjuna,
makanlah sendiri nasi tersebut!” Dewi Kunti selalu mengajarkan bahwa
dalam hidup ini kita tidak boleh menerima sesuatu dari hasil iba
seseorang.
Selain Gatotkaca dan Antareja, Werkudara juga mamiliki putra yang
ahli perang dalam air yaitu Antasena, Putra Bima dengan Dewi Urangayu,
putri dari Hyang Mintuna, dewa penguasa air tawar.
Para tetua Astina merasa sedih karena mereka mengira Pandawa telah
meninggal karena mereka menemukan enam mayat di pesanggrahan yang habis
terbakar itu. Kurawa yang sedang bahagia kemudian sadar bahwa Pandawa
masih hidup saat mereka mengikuti sayembara memperebutkan Dewi Drupadi.
Para Pandawa yang diwakilkan Werkudara dapat memenangkan sayembara
denagn membunuh Gandamana. Disaat yang sama hadir pula Sengkuni dan
Jayajatra yang ikut sayembara mewakili Resi Drona tetapi kalah. Dari
Gandamana, Werkudara memperoleh aji-aji Wungkal Bener, dan Aji-aji
Bandung Bandawasa. Setelah memenangkan sayembara tersebut, Werkudara
mempersembahkan Dewi Drupadi kepada kakaknya, Puntadewa.
Setelah mengetahui bahwa Pandawa masih hidup, para tetua Astina seperti
Resi Bisma, Resi Drona, dan Yamawidura mendesak Prabu Destarastra untuk
memberikan Pamdawa hutan Wanamarta, denagn tujuan agar Kurawa dan
Pandawa tidak bersatu dan menghindarkan perang saudara. Akhirnya
Destarastra menyetujuinya. Para Pandawa lalu dihadiahi hutan Wanamarta
yang terkenal angker. Dan dengan usaha yang keras akhirnya mereka dapat
mendirikan sebuah kerajaan yang dinamai Amarta. Werkudara pun berhasil
mengalahkan adik dari raja jin, Prabu Yudistira, yang bersemayam di
Jodipati yang bernama Dandun Wacana. Dadun Wacana kemudian menyatu dalam
tubuh Werkudara. Lalu, Werkudara mendapat warisan Gada Lukitasari
selain itu, Werkudara juga mendapat nama Dandun Wacana. Sebagai raja di
Jodipati, Werkudara bergelar Prabu Jayapusaka dengan Gagak Bongkol
sebagai patihnya. Werkudara juga pernah menjadi raja di Gilingwesi
dengan gelar Prabu Tugu Wasesa.
Pada saat Pandawa kalah dalam permainan judi dengan kurawa, para pandawa
harus hidup sebagai buangan selama 12 tahun di hutan dan 1 tahun
menyamar. Dalam penyamaran tersebut, Werkudara menyamar sebagai jagal
atau juru masak istana di negri Wiratha dengan nama Jagal Abilawa. Di
sana ia berjasa membunuh Kencakarupa, Rupakenca dan Rajamala yang
bertujuan memberontak. Sesungguhnya ia membunuh Kencakarupa dan
Rupakenca dengan alasan keduannya ingin memperkosa Salindri yang tidak
lain adalah istri kakaknya, Puntadewa, Dewi Drupadi yang sedang
menyamar.
Pernah Bima diminta oleh gurunya, Resi Drona, untuk mencari Tirta
Prawitasari atau air kehidupan di dasar samudra. Sebenarnya Tirta
Prawitasari itu tidak ada di dasar samudra tetapi ada di dasar hati tiap
manusia dan perintah gurunya itu hanyalah jebakan yang di rencanakan
oleh Sengkuni dengan menggunakan Resi Drona. Namun Bima menjalaninya
dengan sungguh-sungguh. Ia mencari tirta Prawitasari itu sampai ke dasar
samudra di Laut Selatan. Dalam perjalanannya ia bertemu dengan dua
raksasa besar yang menghadang. Kedua raksasa itu bernama Rukmuka dan
Rukmakala yang merupakan jelmaan dari Batara Indra dan Batara Bayu yang
di sumpah oleh Batara Guru menjadi raksasa. Setelah berhasil membunuh
kedua rakasasa tersebut dan setelah raksasa tersebut berubah kembali ke
ujud aslinya dan kembali ke kayangan, Werkudara melanjutkan
peprjalanannya. Sesampainya di samudra luas ia kembali diserang oleh
seekor naga bernama Naga Nemburnawa. Dengan kuku pancanakanya,
disobeknya perut ular naga tersebut. Setelah itu Werkudara hanya terdiam
di atas samudra. Di sini lah ia bertemu dengan dewanya yang sejati,
Dewa Ruci. Oleh Dewa Ruci, Werkudara kemudian diminta masuk kedalam
lubang telinga dewa kerdil itu. Lalu Werkudara masuk dan mendapat
wejangan tentang makna kehidupan. Ia juga melihat suatu daerah yang
damai, aman, dan tenteram. Setelah itu Werkudara menjadi seorang pendeta
bergelar Begawan Bima Suci dan mengajarkan apa yang telah ia peroleh
dari Dewa Ruci.
Dalam lakon Bima Kacep, Werkudara menjadi seorang pertapa untuk
mendapat ilham kemenangan dalam Baratayuda. Ketika sedang bertapa
datanglah Dewi Uma yang tertarik dengan kegagahan sang Werkudara. Mereka
lalu berolah asmara. Namun, malang, Batara Guru, suami Dewi Uma,
memergoki mereka. Oleh Batara Guru, alat kelamin Werkudara dipotong
dengan menggunakan As Jaludara yang kemudian menjadi pusaka pengusir
Hama bernama Angking Gobel. Dari hubungannya dengan Dewi Uma, Bima
memiliki seorang putri lagi bernama Bimandari. Lakon ini sangat jarang
dipentaskan. Dan beberapa dalang bahkan tidak mengetahui cerita ini.
Selain Ajian yang diwariskan oleh Gandamana, Werkudara juga memiliki
Aji Blabak pangantol-antol dan Aji Ketuklindu. Dalam hal senjata,
Werkudara memiliki senjata andalan yaitu Gada Rujak Polo. Selain itu
Werkudara juga memiliki pusaka Bargawa yang berbantuk kapak serta
Bargawastra yang berbentuk anak panah. Anak panah tersebut tak dapat
habis karena setiap kali digunakan, anak panah tersebut akan kembali ke
pemiliknya. Ia pernah pula bertemu dengan Anoman, saudara tunggal
Bayunya. Disana mereka bertukar ilmu, dimana Werkudara mendapat Ilmu
Pembagian Jaman dari Anoman dan Anoman mendapat Ilmu Sasra Jendra
Hayuningrat. Sebelumnya, arwah Kumbakarna yang masih penasaran dan ingin
mencapai kesempurnaan juga menyatu di paha kiri Raden Werkudara dalam
cerita Wahyu Makutarama yang menjadikan ksatria panegak Pandawa tersebut
bertambah kuat.
Dalam perang besar Baratayuda Jayabinangun Werkudara berhasil
membunuh banyak satria Kurawa, diantaranya, Raden Dursasana, anak kedua
kurawa yang dihabisinya dengan kejam pada hari ke 16 Baratayuda untuk
melunasi sumpah Drupadi yang hanya akan menyanggul dan mengeramas
rambutnya setelah dikeramas dengan darah Dursasana setelah putri Pancala
tersebut dilecehkan saat Pandawa kalah bermain dadu. Bima juga membunuh
adik- adik Prabu Duryudana yang lain seperti, Gardapati di hari ke tiga
Baratyuda, Kartamarma, setelah Baratayuda, dan Banyak lagi. Werkudara
pun membunuh Patih Sengkuni di hari ke 17 dengan cara menyobek kulitnya
dari anus sampai ke mulut untuk melunasi sumpah ibunya yang tidak akan
berkemben jika tidak memakai kulit Sengkuni saat Putri Mandura tersebut
dilecehkan Sengkuni pada pembagian minyak tala. Hal tersebut juga sesuai
dengan kutukan Gandamana yang pernah dijebak Sengkuni demi merebut
posisi mahapatih Astina bahwa Sengkuni akan mati dengan tubuh yang
dikuliti.
Pada hari terakhir Baratayuda, semua perwira Astina telah gugur, tinggal
saingan terbesar Werkudaralah yang tersisa yaitu raja Astina sendiri,
Prabu Duryudana. Pertarungan ini diwasiti oleh Prabu Baladewa sendiri
yang merupakan guru dari kedua murid dengan aturan hanya boleh memukul
bagian tubuh pinggang keatas. Dalam pertarungan itu Duryudana tubuhnya
telah kebal dan hanya paha kirinya yang tidak terkena minyak tala,
karena ia tidak mau membuka kain penutup kemaluannya yang masih menutupi
paha kirinya saat Dewi Gendari mengoleskan minyak tersebut ke tubuh
Duryudana. Banyak pihak yang menyalah artikan paha ini dengan mengatakan
betis kiri. Sebenarnya yang betul adalah paha karena dalam bahasa Jawa
wentis adalah paha bukan betis. Duryudana yang mencoba memukul paha kiri
Werkudara gagal karena di paha kiri Werkudara bersemayam arwah
Kumbakarna yang mengakibatkan paha kiri Bima menjadi sangat kuat,
ditempat lain Werkudara mulai kewalahan karena Duryudana kebal akan
segala pukulan Gada Rujak Polonya.
Untunglah Arjuna dari kejauhan memberi isyarat dengan menepuk paha kiri
nya. Werkudara yang waspada dengan isyarat adiknya itu langsung
menghantamkan gadanya di paha kiri Duryudana, dalam dua kali pukul
Duryudana sekarat, oleh Werkudara, Duryudana lalu dihabisi dengan
menghancurkan wajahnya sehingga tak berbentuk. Baladewa yang melihat hal
itu menganggap Werkudara berbuat curang dan hendak menghukumnya, namun
atas penjelasan dari Prabu Kresna akan kecurangan yang dilakukan
terlebih dulu oleh Duryudana dan kutukan dari Begawan Maetreya akhirnya
Prabu Baladewa mau memaafkannya. Saat Begawan Maetreya datang menghadap
Duryudana dan memberi nasehat tentang pemberian setengah kerajaan kepada
Pandawa, Duryudana hanya duduk dan berkata, seorang pendeta seharusnya
hanya berpendapat jika sang raja memintanya, sambil menepuk-nepuk paha
kirinya. Bagi Begawan Maetreya hal ini dianggap sebagai penghinaan, ia
lalu menyumpahi Prabu Duryudana kelak mati dengan paha sebelah kiri yang
hancur.
Setelah Baratayuda usai, Para Pandawa datang menghadap Prabu Destarastra
dan para tetua Astina lainnya. Ternyata Destarastra masih menyimpan
dendam pada Werkudara yang mendengar bahwa banyak putranya yang tewas di
tangan Werkudara terutama Dursasana yang di bunuhnya dengan kejam. Saat
para Pandawa datang untuk memberi sembah sungkem pada Destarastra,
diam-diam Destarastra membaca mantra Aji Lebursaketi untuk menghancurkan
Werkudara, namun, Prabu Kresna yang tahu akan hal itu mendorong
Werkudara kesamping sehingga yang terkena aji-aji tersebut adalah arca
batu. Seketika itu pulalah arca tersebut hancur menjadi abu. Destarastra
kemudian mengakui kesalahannya dan iapun mundur dari pergaulan
masyarakat dan hidup sebagai pertapa di hutan bersama istrinya dan Dewi
Kunti. Beberapa pakem wayang mengatakan bahwa Prabu Destarastra telah
tewas sebelum pecah perang Baratayuda saat Kresna menjadi Duta Pandawa
ke Astina. Saat itu ia tewas terinjak-injak putra-putranya yang
berlarian karena takut akan kemarahan Prabu Kresna yang telah menjadi
Brahala.
0 Komentar
Silahkan berkomentar sesuai dengan judul artikel,
Kritik dan saran sangat membantu saya dalam memeperbaiki blog ini.
Terima kasih atas kunjungan anda...