Recents in Beach

Cinta yang Tersesat di Antara Doa

Namanya Alya, seorang wanita berhati lembut berusia 30 tahun. Ia adalah seorang ibu tunggal, membesarkan anak perempuannya, Naira, yang berusia 6 tahun. Alya bercerai setahun yang lalu, dan sejak itu hidupnya penuh perjuangan. Namun tak pernah sekalipun ia menyesali pilihannya, karena keputusan itu diambil demi menjaga nilai yang paling ia pegang: kejujuran dalam iman.


Alya bertemu dengan Daniel tiga tahun lalu dalam sebuah seminar kewirausahaan. Daniel cerdas, sopan, dan sangat perhatian. Ia mengatakan bahwa ia seorang mualaf, dan Alya—yang awalnya ragu—akhirnya luluh karena kesungguhan Daniel menjalani hidup dalam Islam. Ia melihatnya salat, ikut puasa, bahkan sesekali ikut pengajian daring bersamanya.

Cinta mereka tumbuh cepat. Dalam waktu setahun, mereka menikah secara sah dan sederhana. Alya merasa seperti menemukan kembali harapan untuk membangun keluarga utuh bagi Naira.

Namun, seiring waktu, hal-hal kecil mulai terasa janggal. Daniel jarang salat jika tidak bersama Alya, menghindar saat diajak ke masjid, dan tidak mau diajak bicara tentang hal-hal spiritual. Puncaknya terjadi ketika Alya menemukan email Daniel dengan keluarganya—yang dengan jelas menunjukkan bahwa Daniel masih menjalani hidup sebagai seorang Kristen.

Alya terpukul. Dunia yang ia bangun kembali runtuh.

Setelah konfrontasi, Daniel akhirnya mengaku: ia tak pernah benar-benar berpindah keyakinan. Ia hanya takut kehilangan Alya saat itu, dan yakin bahwa cinta bisa menyatukan segalanya.

Namun bagi Alya, ini bukan soal perbedaan agama semata—ini tentang kebohongan yang mendasari cinta mereka.

Alya menggugat cerai. Bukan karena ia membenci Daniel, tapi karena ia tak bisa hidup dalam ketidakjujuran. Ia ingin Naira tumbuh dalam lingkungan yang jujur dan sesuai dengan nilai yang ia yakini.

Kini, setahun berlalu. Alya masih sendiri, tapi damai. Ia bekerja keras, membesarkan Naira dengan penuh kasih sayang. Meski hatinya belum sepenuhnya sembuh, ia percaya bahwa cinta sejati tidak akan meminta kita mengorbankan prinsip, dan tidak dibangun di atas dusta.

Musim hujan mulai tiba di Jakarta. Di balik jendela apartemen kecilnya, Alya duduk sambil menyesap teh hangat, menatap Naira yang sedang mewarnai gambar masjid dengan penuh semangat. Hatinya jauh lebih tenang dari setahun lalu, tapi belum sepenuhnya siap untuk membuka diri. Cinta, bagi Alya, adalah sesuatu yang suci—dan kini ia menjaganya lebih hati-hati.

Suatu hari, di sebuah acara komunitas literasi anak yang diadakan oleh sekolah Naira, Alya berkenalan dengan seorang pria bernama Raka. Ia adalah relawan, seorang dosen muda di universitas negeri, yang gemar mengajar anak-anak membaca dengan pendekatan islami dan menyenangkan.

Raka sederhana, tidak banyak bicara, tapi tulus. Tidak seperti Daniel, ia tidak pernah mencoba tampil sempurna. Ia menyapa Naira dengan lembut, dan membuat anak kecil itu tertawa dalam waktu lima menit. Itu sesuatu yang jarang terjadi. Naira biasanya butuh waktu lama untuk percaya pada orang baru.

Pertemuan pertama berlanjut menjadi obrolan ringan di tiap kegiatan komunitas. Raka tidak pernah menanyakan masa lalu Alya, tapi menghargai apa pun yang ia ceritakan. Ketika Alya, dengan jujur dan gamang, mengungkap bahwa ia seorang janda dengan anak satu, ekspresi Raka tak berubah sedikit pun.

“Kamu bukan satu-satunya yang pernah jatuh,” katanya. “Tapi mungkin kamu termasuk yang berani bangkit dengan tenang.”

Alya diam, matanya panas.

Dalam bulan-bulan berikutnya, Raka tak pernah mendesak. Ia hadir, tapi tidak menekan. Ia mendengarkan, tapi tidak menghakimi. Ia tahu bahwa cinta tidak bisa dibangun hanya dengan kata-kata manis—melainkan dengan kejujuran yang konsisten, dan kesabaran yang tulus.

Perlahan, hati Alya mulai terbuka. Bukan karena Raka sempurna, tapi karena ia nyata. Ia tidak mencoba menjadi sesuatu yang bukan dirinya, dan itulah yang membuat Alya merasa aman.

Suatu sore, ketika mereka duduk di taman setelah acara komunitas, Naira tertidur di pangkuan Alya. Raka menatapnya sebentar, lalu berkata pelan:

“Alya, aku tahu kamu terluka karena kebohongan di masa lalu. Aku tidak menjanjikan hidup yang selalu mudah, tapi aku janji, aku akan selalu jujur.”

Alya menatap mata Raka, dan untuk pertama kalinya setelah sekian lama, ia tidak merasa takut.

Hubungan Alya dan Raka berkembang dengan perlahan tapi pasti. Bukan kisah cinta yang penuh letupan dramatis, melainkan seperti hujan gerimis yang konsisten—menenangkan, menyuburkan, dan tak pernah memaksa.

Namun, seperti semua kisah nyata, ujian tak bisa dihindari.

Suatu hari, mantan suaminya, Daniel, kembali muncul.

Bukan untuk mengganggu, katanya, tapi karena ingin lebih terlibat dalam kehidupan Naira. Ia tampak berubah—lebih tenang, lebih sopan, bahkan mengakui bahwa ia kini benar-benar sedang mencari kebenaran dalam hidupnya.

Alya bingung. Sebagai ibu, ia ingin Naira tetap mengenal ayah kandungnya. Tapi sebagai wanita yang pernah dikhianati, kehadiran Daniel membuat luka lama menganga kembali.

Raka tahu soal ini. Dan meskipun hatinya gelisah, ia memilih untuk tidak memaksakan pendapat.

“Kalau kamu butuh waktu untuk menyusun jarak yang aman antara kamu, Naira, dan dia, aku bisa sabar nunggu,” ujar Raka suatu malam setelah Alya bercerita.

“Tapi kalau kamu masih menyimpan ruang untuk dia, aku akan mundur.”

Perkataan itu membuat Alya merenung sepanjang malam. Ia sadar—apa pun perubahan Daniel sekarang, kejujuran tidak bisa diulang dari nol hanya karena seseorang berubah. Luka yang pernah mengiris tak bisa disembuhkan hanya dengan kata maaf.

Alya akhirnya mengajak bicara Daniel, tegas namun tetap dengan hati-hati. Ia memberi batas yang jelas: Daniel boleh bertemu Naira, tapi bukan untuk mengulang kisah lama. Ia sudah selesai dengan itu. Hatinya kini sedang belajar mempercayai seseorang yang tidak pernah mencoba memanipulasi takdir demi cinta.

Setelah pertemuan itu, Alya menelepon Raka.

“Terima kasih sudah sabar,” katanya. “Kamu benar… orang yang ingin benar-benar tinggal, akan sabar berdiri di pintu. Bukan memaksa masuk, apalagi pura-pura jadi orang lain.”

Di ujung sana, Raka hanya menjawab, “Aku di sini. Dan aku nggak ke mana-mana.”

Untuk pertama kalinya, Alya tersenyum tanpa beban.

Beberapa bulan berlalu sejak pertemuan terakhir dengan Daniel. Hidup Alya perlahan kembali stabil. Naira tampak bahagia, tumbuh dengan tawa dan rasa aman yang dulu sempat hilang. Hubungannya dengan Raka pun semakin hangat. Namun, meski semuanya berjalan baik, Alya masih menyimpan satu ketakutan: bagaimana jika cinta lagi-lagi hanya sementara?

Raka seolah tahu. Ia tak pernah mendesak, tapi juga tak pergi.

Pada suatu hari Sabtu, mereka mengadakan kegiatan kecil di komunitas literasi. Raka mengajak anak-anak menggambar “impian rumah masa depan” di atas kertas karton warna-warni. Naira menggambar tiga orang di sebuah rumah kecil dengan taman, dan menuliskan namanya, nama Alya, dan—secara mengejutkan—nama Raka.

Alya kaget. Raka tersenyum, tapi tidak berkata apa-apa saat itu.

Malamnya, ketika Alya sedang melipat pakaian di ruang tamu, Raka datang bersama ibunya. Bukan dengan prosesi lamaran besar-besaran, melainkan dengan kesederhanaan dan niat yang serius. Ia membawa satu dus berisi buku catatan milik Naira, dan sebuah kotak kecil berisi cincin.

“Ibu saya ingin mengenal kamu, bukan sekadar sebagai wanita yang saya sayangi, tapi sebagai calon istri yang saya niatkan untuk saya bimbing, bukan saya arahkan,” kata Raka dengan suara pelan tapi mantap.

Alya tak bisa menahan air matanya.

“Kalau kamu masih ragu, saya tunggu. Kalau kamu butuh waktu bicara dengan keluargamu, saya tunggu. Tapi kalau kamu siap… saya ingin memulai bukan dengan janji-janji, tapi dengan doa.”

Ibunya Raka menambahkan dengan lembut, “Kami tidak mencari sempurna. Kami mencari yang saling menenangkan.”

Alya mengangguk. Tidak ada pesta mewah, tidak ada cincin berlian besar, tidak ada adegan seperti di drama Korea. Tapi malam itu, untuk pertama kalinya dalam hidupnya, Alya merasa dilamar dengan tenang dan utuh—bukan hanya sebagai wanita, tapi sebagai ibu, sebagai pribadi yang pernah patah, dan kini siap bangkit kembali.

Pernikahan Alya dan Raka berlangsung sederhana, hanya dihadiri keluarga dekat, sahabat, dan anak-anak dari komunitas literasi. Tidak ada gaun pengantin yang mewah, tidak ada gedung hotel yang gemerlap. Tapi ada hal yang jauh lebih penting: ketenangan yang selama ini dicari Alya.

Naira menjadi pengiring kecil yang menggemaskan, mengenakan kerudung putih kecil dan membawa bunga kertas yang ia buat sendiri. Ia tampak bahagia, karena untuk pertama kalinya, ia menyebut seseorang dengan kata yang baru—"Abi."

Awal pernikahan tentu tidak semulus dongeng.

Alya harus belajar berbagi ruang kembali, bukan hanya dalam arti fisik, tapi juga emosional. Ia terbiasa memutuskan segalanya sendiri sejak bercerai. Kini, ia harus belajar untuk percaya bahwa ia tidak sendirian lagi.

Raka pun harus beradaptasi. Ia tidak punya pengalaman sebagai ayah, tapi ia belajar. Ia bangun pagi lebih awal untuk membantu Naira bersiap sekolah, belajar memahami kemarahan kecil Naira saat rindu pada ayah kandungnya, dan tak pernah merasa tersaingi. Ia tahu, menjadi ayah bukan tentang menggantikan posisi, tapi mengisi ruang dengan kasih sayang yang ikhlas.

Suatu malam, setelah Naira tidur, Alya duduk di beranda rumah mungil mereka. Angin malam berhembus pelan, membawa aroma tanah basah setelah hujan. Raka duduk di sampingnya, membawa dua gelas teh hangat.

“Aku takut gagal lagi,” kata Alya tiba-tiba.

Raka menatapnya. “Kita pasti gagal… dalam banyak hal. Tapi bukan berarti kita tidak bisa bangun dan mencoba lagi. Aku nggak janji bisa membuatmu selalu bahagia, tapi aku janji akan tetap di sini saat kamu sedih.”

Alya menatapnya lama. “Ini pertama kalinya aku tidak takut dengan ketidaksempurnaan.”

Raka tersenyum. “Karena kamu tidak menjalaninya sendirian.”

Dan di malam itu, tanpa drama, tanpa air mata berlebihan, Alya tahu bahwa rumah bukan tempat. Rumah adalah seseorang yang tidak menyerah saat kamu sedang kehilangan arah.

Hidup baru Alya bersama Raka berjalan dengan ritme yang tenang. Mereka mulai terbiasa saling mengisi, belajar sabar atas perbedaan kecil sehari-hari. Tapi kehidupan bukanlah garis lurus. Terkadang, bahkan setelah pernikahan yang indah dan keluarga yang hangat, masa lalu bisa kembali dalam bentuk yang tak terduga.

Naira, yang selama ini tampak riang, mulai menunjukkan perubahan.

Ia sering murung, mudah marah, dan kadang menolak disentuh Raka. Suatu malam, saat Alya hendak menidurkannya, Naira berbisik pelan, “Aku nggak tahu harus sayang sama Abi atau tetap sayang sama Ayah…”

Alya tercekat.

Hatinya ingin segera berkata bahwa keduanya bisa disayangi. Tapi ia tahu, bagi anak usia tujuh tahun, konflik kesetiaan emosional bisa menjadi luka yang dalam. Dan yang paling sulit dari semua itu: Naira belum benar-benar mengerti apa yang terjadi antara kedua orang tuanya.

Alya mulai gelisah. Ia merasa bersalah, merasa gagal sebagai ibu. Tapi Raka—seperti biasanya—tidak menyalahkan.

“Boleh kita ajak Naira ke psikolog anak?” tanyanya lembut. “Bukan karena dia salah. Tapi karena dia berhak punya ruang untuk bicara dengan jujur, tanpa harus memihak.”

Alya mengangguk. Untuk pertama kalinya, ia menyadari bahwa mencintai anak bukan berarti melindunginya dari semua luka, tapi menemani saat ia belajar memahami rasa sakit itu sendiri.

Setelah beberapa sesi konseling, perlahan Naira mulai terbuka. Ia bercerita tentang mimpinya bertemu Daniel dan merasa bersalah karena menyukai Raka. Ia bingung. Ia merasa kalau ia dekat dengan “Abi”, maka ia akan menyakiti “Ayah”.

Psikolog itu mengatakan sesuatu yang membuat Alya menangis:

“Anak-anak tidak butuh jawaban cepat. Mereka hanya butuh keyakinan bahwa cintamu tidak akan berubah, meskipun mereka bingung.”

Malam itu, Alya dan Raka duduk bersama Naira. Mereka tak berbicara banyak. Mereka hanya mendengarkan, memeluk, dan menangis bersama. Tanpa harus memaksa semuanya selesai malam itu.

Karena mereka tahu, keluarga bukan tentang siapa yang hadir pertama kali, tapi siapa yang tetap tinggal meski segalanya rumit.

Setelah beberapa bulan menjalani terapi dan menghadapi gejolak emosional Naira, rumah kecil Alya dan Raka mulai kembali hangat. Bukan karena masalahnya menghilang, tapi karena mereka memilih untuk menghadapinya bersama, bukannya saling menyalahkan.

Naira kini lebih terbuka. Ia mulai menyebut “Abi” tanpa ragu, mulai meminta Raka mengantar ke sekolah, bahkan suatu sore, ia duduk di pangkuan Raka sambil menunjukkan gambar keluarga yang ia buat: ada dirinya, Alya, dan Raka… dan di sisi lain, ada gambar Daniel.

“Aku punya dua rumah,” kata Naira polos, “dan dua orang yang sayang sama aku.”

Alya hampir menangis mendengarnya. Raka hanya tersenyum dan membelai rambut anak kecil itu. Itu adalah hari di mana Alya sadar: cinta yang diberikan tanpa ambisi untuk memiliki sepenuhnya, justru akan tumbuh lebih dalam.

Namun, ujian berikutnya datang bukan dari dalam, melainkan dari lingkungan sekitar.

Beberapa tetangga mulai bergunjing. Seorang janda yang menikah lagi, lalu anaknya tetap bertemu mantan suami. Bagi sebagian orang, apa yang dilakukan Alya terasa "tidak biasa". Bahkan ada yang secara terang-terangan berkata bahwa seharusnya Daniel tak lagi punya tempat di kehidupan Naira.

Komentar-komentar itu menyakitkan. Tapi kali ini, Alya tidak gentar.

Ia mendatangi mereka dengan tenang, dan berkata, “Saya memilih jujur pada anak saya. Ia punya ayah, dan saya tidak akan menghapus keberadaan itu hanya demi terlihat sempurna di mata orang.”

Alya tahu, dunia luar tak selalu ramah terhadap narasi yang berbeda dari norma. Tapi ia tak membangun hidup untuk memuaskan pandangan orang lain. Ia membangun rumah—dalam arti sebenarnya—untuk Naira dan suaminya, dengan fondasi yang kuat: kejujuran, komunikasi, dan kesabaran.

Raka, di sisi lain, tetap menjadi sosok yang stabil. Ia tahu bahwa bagian terberat dari menjadi ayah tiri bukan soal mencintai anak orang lain, tapi menerima bahwa tempatnya tidak selalu di posisi utama—dan itu tak apa.

Pada suatu malam, sebelum tidur, Naira memeluk Alya dan bertanya, “Bunda… aku boleh berdoa biar Ayah dan Abi sama-sama bahagia nggak?”

Alya menjawab sambil menahan tangis, “Itu doa paling indah yang pernah Ibu dengar.”

Dua tahun setelah pernikahan mereka, kehidupan Alya dan Raka tumbuh dalam arah yang tak pernah mereka bayangkan sebelumnya. Bukan hanya sebagai pasangan suami istri, tapi juga sebagai rekan seperjuangan yang kini merintis sesuatu bersama: sebuah usaha literasi keluarga.

Berawal dari komunitas kecil tempat mereka dulu bertemu, Alya dan Raka melihat bahwa banyak orang tua kesulitan menemukan buku bacaan Islami yang ramah anak dan membangun nilai. Maka lahirlah “Rumah KataKita” — sebuah toko buku online sekaligus ruang baca kecil di sudut kota, yang juga menyediakan kelas parenting dan dongeng Islami untuk anak.

Alya mengelola isi dan pengembangan konten, sementara Raka menangani strategi, pelatihan relawan, dan program sekolah. Naira? Ia menjadi "model cilik" yang senang membacakan cerita di video singkat mereka.

Usaha itu tidak tumbuh secepat startup yang viral di media sosial. Tapi perlahan, pelanggan tetap mulai berdatangan. Sekolah-sekolah kecil mulai bekerja sama. Bahkan ada orang tua yang menangis karena akhirnya menemukan ruang edukasi yang tidak menggurui, tidak menghakimi, hanya menenangkan.

Kehidupan mereka bukan tanpa lelah—tapi lelah yang penuh arti.

Di rumah, Alya dan Raka tetap menjalani hari-hari dengan ritme sederhana: saling menyiapkan sarapan, membantu PR Naira, menyelipkan doa di setiap langkah kecil. Mereka tak lagi takut pada masa lalu, karena kini mereka hidup dengan tujuan, bukan trauma.

Suatu sore di teras Rumah KataKita, Alya duduk bersama Raka sambil memandang anak-anak membaca buku sambil bersila.

“Aku nggak pernah nyangka hidup bisa sampai di titik ini,” gumamnya.

Raka menggenggam tangannya. “Aku juga nggak nyangka bisa mencintai kamu dan anakmu sedalam ini, tanpa perlu jadi sempurna.”

Alya menatapnya dan tersenyum.

Cinta mereka tak lahir dari awal yang indah, tapi dari reruntuhan yang dibersihkan bersama.

Dan kini, mereka hidup bukan untuk melupakan masa lalu, tapi untuk membuktikan bahwa dari kejujuran, ketulusan, dan kesabaran—bahagia bukan hanya mungkin, tapi bisa tumbuh subur.


Penulis : Eko Wahyono Saputra

Posting Komentar

0 Komentar