Setelah berpusing-pusing membahas latar belakang mengapa kita perlu mencari definisi suatu istilah sebelum berdebat (lihat posting sebelumnya: signifikansi definisi nyinyir, perlunya apa?), tibalah saatnya kita membahas arti kata Nyinyir itu sendiri. Ya, agar segera jelas kesimpangsiuran yang selama ini memanjang dan melebar.
Kurang afdhol rasanya membahas makna dan arti suatu kata, tanpa terlebih dahulu mengutip KBBI. Nah, menurut KBBI sendiri “nyinyir” masuk dalam rumpun adjektiva atau kata sifat, yang artinya: mengulang-ulang perintah atau permintaan; nyenyeh; cerewet.
Jadi, kalau sudut pandang kita hanya dari KBBI, ya kita salah memilih kata. Kalau panduan kita hanya KBBI, kita ternyata salah memilih kata nyinyir itu. Titik.
Lalu apa kata yang pas?
Beberapa orang menyarankan “sindir”. Menurut KBBI lagi, sindir sebagai kata kerja atau verba memiliki makna “mengkritik (mencela, mengejek, dan sebagainya) seseorang secara tidak langsung atau tidak terus terang.” Ini lebih pas nih. Ketika asap makin pekat dan merunyamkan tata hidup masyarakat Kalimantan, Sumatra, dan kini Papua, banyak orang mencela Presiden, tetapi tidak ditujukan langsung. Arahnya lebih kepada para pendukungnya.
Tetapi kata ini sedikit kurang pas. “Sindir” lebih merupakan tindakan, yang disadari oleh si pelaku. Dia sudah diniatkan. Sementara nyinyir, ah ini sepertinya lebih ke gaya dan sikap hidup, ya sikap hidup nyinyir. Jadi, dia tidak hanya berupa tindakan (menyindir), tetapi bisa berupa aktivitas “share artikel dan komentar” serta “menyukai” halaman si empunya sikap nyinyir. Nah, lho.
Ada yang menyarankan cibir. Cibir menurut KBBI (hah KBBI lagi??? Lha gimana lagi, punya cuman itu) adalah 1. menganjurkan bibir bawah ke depan; mencebikkan; 2 mencemooh; mengejekkan; menistakan. Kalau arti pertama dan kedua disatukan, cibir berarti ya mencemooh sambil memonyongkan bibir. Lumayan tepat.
Kata ini memadukan aktivitas keluarnya suara (cemooh) dan sikap diri (monyong tadi). Lebih pas kan? Tindakan (mencemooh) bersatu dengan sikap (memonyongkan bibir bawah ke depan).
Tetapi setelah dipikir-pikir kurang pas lagi. Kalo seseorang update status di FB atau Twitter, mana kita tahu dia monyong atau nggak. Kita nggak pernah tahu apakah si peng-update meniru pose dan derajat kemiringan bibir Feni Rose saat membawa acara Silat (Eh Silet dulu itu ya).
Masih kurang pas jadinya. Apa ya yang lebih pas?
Saya pribadi, sebagai pemuda Indonesia yang berbahasa satu yaitu bahasa Indonesia, lebih suka tetap memilih “nyinyir” tetapi maknanya diluaskan. Perluasan makna bukan lagi fenomena ganjil. Kata “Bapak” misalnya. Dari awalnya bermakna “orang tua laki-laki; ayah”, kini beralih dan meluas menjadi panggilan kepada orang yang lebih tua, dan kepada tokoh yang menjadi pelindung. Dan bahkan kini menjadi bahan ejekan guna menyudutkan laki-laki muda usia tetapi wajahnya lebih dewasa daripada aslinya.
Jadi dalam pada itu, “nyinyir” bisa kita sepakati definisinya sebagai “sikap atau tindakan NYINdir serta mencibir dengan nada sumir dan bau anYIR.”
Apa perlu kita bikin petisi untuk memasukkan kata “nyinyir” sebagai salah satu lema di KBBI? Atau dibuatkan hari, semacam Hari Nyinyir Nasional? Hehe siapa tahu sudah mendesak.
0 Komentar
Silahkan berkomentar sesuai dengan judul artikel,
Kritik dan saran sangat membantu saya dalam memeperbaiki blog ini.
Terima kasih atas kunjungan anda...