Kala mentari mulai bertolak ke peraduan
Lautpun mendekap surya
Seakan enggan berpisah lagi
Sedangkan aku hanya duduk bertopang dagu
Menyaksikan kesyahduan suasana merah merayu
Hanya anganku yang perlahan berlari menyisir kalbu
Bersama ombak lautan waktu…
Butir demi butir pasir pesisir biru itu
Kini satu per satu mulai terkulum air mata
Bagaimana bisa ia menjelma,
mengering,
dan menjadi kering?
Sedangkan ombak cemburu semakin garang mengikis harap
Dan tanpa sungkan merobohkan dermaga perisai jiwaku
Mengapa sosok nyiur itu tiada pernah hendak
Menyingkir ke pesisir yang lain,
dan membiarkanku bercinta dengan waktu?
Mengapa ia enggan beranjak,
dan malah melambaikan dahan dengan gembiranya?
Apakan ia bermaksud mengejekku?
Hentikanlah Nyiur!
Aku sudah cukup tahu diri!
Namun betapa bodohnya aku
Meski ku tahu tanpa malu ia bercumbu dengan angin
Tiada pernah bosan diriku
Bernyanyi untuknya selagi terik
Dan bersenandung lirih untuknya kala petang
Sembari mengiring surya ke Wisma Agung
Tapi biarlah…
Biarlah ku tetap di sini
Di sini dan tetap menyusun irama penghapus duka baginya
Biarlah ia menari
Bersama semilirnya hawa malam ini
Biarlah aku tetap di sini
dan terus melantunkan nada sirri
Agar nyiur itu dapat terus berdendang dengan angin
Namun betapa pilu hatinya kan teriris
Betapa terkerat manah menangis
Bilamana sang angin meninggalkannya
Dan berhembus demi nyiur yang lain
Dan mungkin saat itu,
Akupun telah lelah bersenandung untuknya
Dan lebih memilih mengekor matahari
Yang bertapak menyusur jalan sunyi
Menjemput sang pagi…
0 Komentar
Silahkan berkomentar sesuai dengan judul artikel,
Kritik dan saran sangat membantu saya dalam memeperbaiki blog ini.
Terima kasih atas kunjungan anda...