AYAHKU tidak pernah menginjakkan kaki ke Rumah Gadang, rumah mertuanya. Maklum saja, ayah tidak dianggap sebagai mantu oleh Uwo, nenekku. Konon katanya, pernikahan ibuku dengan ayah tidak direstui Uwo.
Ayah tidak mempersoalkan itu. Walau tidak dianggap sebagai mantu, atau sebagai bagian dari keluarga Uwo, ayah tetap menyuruhku untuk memperhatikan Uwo. Ayah selalu menyarankan supaya aku selalu meluangkan waktu untuk mengunjungi Uwo yang tinggal sendirian di Rumah Gadang.
Ibuku adalah Anak Uwo yang tertua. Anak-anak Uwo yang lain kini sudah pergi merantau. Sebelas orang anak Uwo, sepuluh orang paman dan bibiku itu hidup jauh dari kampung halaman. Paman Jamil, hidup dengan istrinya di Palembang. Lasmina sudah sepuluh tahun tinggal di Bogor. Sahida sudah beranak-pinak di Pekanbaru. Syaiful dan Ratnawilis mencari nafkah di Dumai. Zubaidah membuka usaha rumah makan di Tangerang, karena sukses ia mengajak adiknya Marjohan untuk membuka cabang rumah makannya. Dan kini Marjohan sudah berjodoh pula dengan perempuan setempat. Sedangkan tiga lainnya; Habibah, Aminah dan Syawaluddin sudah jadi orang Jakarta pula.
Yang masih ada di sekitaran Uwo hanyalah Kamal dan ibuku. Paman Kamal, hanya merantau dekat, ke kota Payakumbuh. Ia bekerja sebagai pegawai pemerintah di kota itu. Sesekali ia datang ke Padang untuk mengunjungi Uwo.
Jadi, yang masih ada di kota Padang hanyalah ibuku. Meski menetap di Padang, keluarga kami tidak menghuni Rumah Gadang.
Sudah dua puluh lima tahun umurku. Belum sekalipun melihat ayah menjejakkan kakinya di Rumah Gadang. Bahkan, tidak sekalipun juga aku menemukan ayah bertutur sapa dengan Uwo, nenek saya itu.
Kala aku masih kanak-kanak, kalau ada acara semacam kenduri di Rumah Gadang, ayah tidak pernah ikut serta. Cuma ibu, aku dan kakak perempuanku yang datang. Sedangkan ayah tetap menunggui rumah kami. Rumah kami hanyalah rumah kecil yang kami kontrak dari orang lain di kampung itu. Jaraknya sekitar satu kilo meter dari Rumah Gadang Uwo. Sekitar sepuluh menit berjalan kaki.
Aku sebagaimana juga kakakku tidak pernah mengorek-ngorek cerita kepada ibu kenapa ayah tidak mau menempuh Rumah Gadang. Ibu sendiri tidak pernah pula meminta atau memberi aba-aba mengajak ayah untuk bepergian ke Rumah Gadang. Paling-paling, di saat kami akan berangkat ke rumah Uwo itu, ayah akan menanyakan apakah kami akan menginap di Rumah Gadang atau kembali pulang ke rumah kontrakan.
Meski tidak pernah menanyakan langsung pada ibu atau kepada ayah, cerita musabab pertikaian antara Uwo dengan Ayah, aku dapati juga ketika sudah beranjak bujang. Berbagai potongan cerita kudengar dari adik-adik ibu yang lain.
Pamanku yang paling bungsu, Kamal pernah membeberkan bahwa nenek Uwo sangat tidak suka dengan ayah. Katanya, ayahku masa mudanya tersohor di kampung itu sebagai preman. “Ayahmu itu dulunya tukang mabuk, suka berjudi dan tidak bekerja. Bahkan ketika menikahi ibumu, dia sudah berstatus duda pula,” tutur Paman Kamal suatu kali. Melengkapi serpihan kisah itu, bibi Lasmina menuturkan bahwa sebelum menikah dengan ibuku, ayah sudah menikah dengan perempuan kampung tetangga yang kemudian aku kenali bernama Baidar. Meski berakhir dengan perceraian, ayah dan Baidar melahirkan seorang anak yang kini menjadi kakak tiriku, Amin. Hubungan keluargaku dengan keluarga ibu Baidar itu terjalin dengan baik hingga kini.
Menurut cerita Paman Jamil, karena tidak rela anaknya dinikahi oleh seorang preman, Uwo mengutuk ibu dan pernikahan mereka. Uwo sangat marah pada ibu. Bahkan untuk menggagalkan pernikahan ibu, Uwo menyuruh paman Jamil untuk mencari ibu yang kabur bersama ayah. Paman Jamil yang semasa muda berteman baik dengan ayah berhasil menemukan ayah di Pariaman, kota kecil di utara Padang. Beberapa hari setelah menikah ibu tinggal di rumah temannya di Pariaman. Tapi Paman Jamil berhasil menemukan mereka. Paman Jamil mengancamkan parang ke leher ayah. Tapi ibu berlari menghadangkan lehernya ke parang Jamil. Mencoba menepis. “Jamil, sampaikan pada Mak, aku ikhlas dibuang oleh Mak. Tapi jangan pernah berusaha melerai pernikahan kami. Ingat Jamil, kau hanya adikku. Kau tidak pantas mengatur diriku.” Begitu keras hati ibu untuk mempertahankan cinta mereka.
Lebih dari lima tahun setelah pernikahan itu, ibu tidak pernah menginjakkan kaki ke Rumah Gadang. Ibu dan ayah telah dikaruniai seorang anak putri, Mila, kakakku. Mereka sudah kembali ke kampung dan menetap di rumah kontrakan. Meski tinggal di kampung yang sama, ibu dan Uwo tidak pernah bertegur sapa. Keduanya seperti saling membiarkan kehidupan masing-masing. Saat itu Uwo masih tinggal dengan adik-adik ibu yang belum menikah.
Perubahan baru terjadi ketika Abak, kakek kami, meninggal. Mungkin saat itu aku sudah berumur tiga tahun. Ketika mayat Abak terbujur di ruang tengah Rumah Gadang, semua anak-anak Uwo saling rangkul, tumpah meratap-ratap di hadapan jasad Abak. Sejak itu pula untuk pertama kalinya ibu dan aku menginjakkan kaki di Rumah Gadang yang sudah tua itu. Sejak itu pula Uwo kembali bertutur sapa dengan ibu. Sejak itu pula kami menyapa nenek kami dengan sapaan Uwo.
Meski sudah bertutur sapa, hubungan ibu dengan Uwo sekadar berbaikan saja. Uwo tidak pernah menawarkan atau meminta ibu untuk pulang dan tinggal di Rumah Gadang. Padahal tak lama setelah itu Rumah Gadang sudah kosong melompong, karena semua anak Uwo, adik-adik ibu sudah pergi merantau. Sebagai anak perempuan tertua, ibu tidak pernah pula mengambil haknya untuk menghuni Rumah Gadang. Maka, Uwo hanyak tinggal sendirian di rumah yang terlalu besar untuk badan seorang. Kadang-kadang, Uwo mengajak Yuli, anak sepupunya yang gadis lapuk itu untuk bermalam, menemaninya tidur.
***
Dalam gulungan tahun demi tahun yang terasa singkat, hingga kini kondisi seperti itu masih terus berjalan. Kelihatannya baik bagi Uwo maupun ibu semua berjalan normal. Meski adik-adik ibu sudah bertegur sapa dengan ayah, menandai bahwa mereka sudah menerima ayah sebagai ipar mereka. Paman Jamil yang dulu mengancam Ayah dengan parang, selalu datang ke rumah untuk menemui ibu dan berbincang dengan ayah bila ia pulang dari Palembang. Bila melihat perbincangan Paman Jamil dengan Ayah, aku seakan menemukan dua teman lama yang saling akrab, bukan dua orang ipar-besan yang pernah saling ancam.
Begitu pula dengan saudara ibu yang lainnya. Mereka sudah menerima ibu, Ayah atau kami sebagai sebuah keluarga besar. Mereka sering saling bertukar kabar melalui telepon. Tak jarang di awal tahun ajaran sekolah, paman dan bibi itu mengirim uang untuk membantu biaya sekolah kami. Entah kenapa semua itu. Mungkin di antara anak-anak Uwo, hanya ibu yang hidup pas-pasan. Tinggal di rumah kontrakan. Mungkin ditambah pula melihat ayah hanya bekerja sebagai kuli bangunan.
***
Kian hari aku lihat Uwo sudah semakin tua. Meski masih kuat untuk berjalan ke mesjid, tenaga Uwo sudah semakin berkurang. Di hari-hari sebelumnya Uwo masih sanggup untuk untuk membereskan kebun, memangkas rerumputan atau menyapu daun-daun mahoni yang gugur di pekarangan Rumah Gadang. Namun kemudian Uwo sering memanggil orang upahan.
Kadang bila tepat waktunya, tak jarang aku melakukan pekerjaan itu. Aku mengambil cangkul atau sapu lidi untuk membersihkan halaman Rumah Gadang. Tapi Uwo yang tahu bahwa aku yang bekerja membereskan pekarangan rumahnya, selalu memberiku uang ketika mau pulang. “Ini uang bukan upahmu menyapu rumah. Simpanlah uang ini untukmu, Indra. Uwo ingin kamu melanjutkan belajar hingga kuliah. Nanti kalau sudah tamat, carilah pekerjaan yang baik yang tidak memerlukan tenaga hingga berpeluh-peluh seperti ayahmu,” suatu kali Uwo menyerahkan begitu banyak uangnya kepadaku.
Siapa yang tidak senang mendapat uang. Lagi pula halal dan banyak. Tapi kalimat terakhir Uwo yang menyentil ayah, membuatku sedikit berpikir ulang. Mengapa Uwo sampai perlu menyebut ayah saat setiap kali memberikan sesuatu? Ah, tak ada yang perlu diperpanjang-rentang ucapan Uwo itu. Bukankah ia sudah terlalu tua.
***
Uwo terjatuh di tangga Rumah Gadang. Uwo sempat pingsan hingga dilarikan ke rumah sakit. Cerita dokter, Uwo tidak mengalami cedera apa pun. Hanya saja penyakit sesak nafas mulai kambuh dan bertambah akut. Penyakit itu pula membuat Uwo agak sering terbatuk-batuk.
“Pagi itu aku hendak pergi ke surau untuk sembahyang subuh. Lampu beranda tidak bisa hidup. Pandangan mataku tidak menemukan anak tangga untuk berpijak, aku raba-raba saja dengan kaki. Malang…. Huukh! Hukh!Hukkhh!” dengan suara yang teramat susah untuk didengungkannya, Uwo menceritakan kejadian itu pada setiap sanak keluarga yang mengunjunginya.
Sudah seminggu Uwo di rumah sakit. Mendengar Uwo dirawat, satu persatu anak-anak Uwo di rantau ada yang pulang. Dengan kehadiran anak-anak di samping ranjang tidurnya sudah terlihat ringan badannya. “Aku ingin pulang. Aku tidak ingin berlama-lama di sini. Aku sudah sembuh,” ujar Uwo kepada anak-anaknya.
Melihat Uwo tiap sebentar merengek untuk keluar dari rumah sakit, paman Kamal pun mengurus kepulangan Uwo. Atas izin dokter, Uwo diperbolehkan untuk menjalani rawat jalan saja. Cek kesehatan bila obat habis.
Setelah keluar dari rumah sakit dan kembali di Rumah Gadang, adik-adik ibu telah kembali pula ke halaman rantaunya masing-masing. Alasan bahwa mereka tidak bisa meninggalkan pekerjaan berlama-lama tentu saja masuk akal untuk diterima Uwo. Mereka, adik-adik ibu itu dengan senang hati, dan tentu dengan kebanggaan lain, meninggalkan begitu banyak uang untuk Uwo.
***
Bulan Ramadhan sudah di penghujung. Malam selepas berbuka rumah kontrakan kami dikejutkan dengan kedatangan Yuli. Tergesa-gesa dan separuh panik ia menyeruak ke hadapan kami.
“Uwon pingsan. Tadi Uwo memanggil-manggil nama Kak Masna,” kata Yuli rusuh tak karuan.
“Di mana? Di mana Mak,” jawab ibu tergerus cemas pula.
“Di Rumah Gadang.”
Maka kami, kecuali ayah, bersigegas berkemas. Seperti yang teralah, ayah hanya berdiam diri saja di rumah. Tapi sebelum kami pergi, ibu dan ayah tampak bicara empat mata di kamar. Raut muka ayah tampaknya menyimpan awan hitam yang hendak menumpahkan hujan.
Ibu jalan-berlari tergesa hendak sampai di hadapan Uwo. Berkali-kali ia memperbaiki kain sarung yang tiap sebentar longgar diayun langkah. Ia mengayuh langkahnya lebih cepat.
Beberapa sanak kerabat kaum Uwo sudah mengelilingi ranjang di mana Uwo terbaring. Meski sudah siuman, nafas Uwo tampak berat. Mata kelabunya yang separuh terbuka seperti hendak menangkap bayangan seseorang.
“Mak,” sapa ibu merangkul tangan Uwo yang dingin.
“Masna…,” tangan Uwo tergerak merambati wajah Ibu, “usah kau membuat jarak lagi padaku. Mendekatlah. Maafkan aku,” ujar Uwo tiada membuat orang lain paham betul percakapan itu. Ibu semakin ringkuh dalam tangisnya yang lari ke dalam.
“Tidak, tidak ada yang salah dari Mak. Akulah yang pernah meninggalkan Mak. Maafkan aku, Mak,” wajah ibu lengket di wajah Uwo. Ada dua sungai yang bertemu di muara yang sama. Sungai Uwo dan sungai Ibu. Saya serupa tongkang yang terhenyak di tepi muara itu.
“Indra,” Uwo menggapai-gapai dengan tangannya. Mendapati namaku dipanggil aku segera lebih rapat ke Uwo. Ibu memberiku ruang untuk merapatkan telinga ke wajah Uwo. Perempuan yang kukenali dan kupahami sebagai nenekku setelah berumur lima tahun itu menarik kepalaku lebih lekat. Ia berbisik lirih sekali di telingaku. Aku tersentak. Aku memalingkan wajah. Semua orang menatapku seakan ingin menanyakan apa yang barusan diucapkan Uwo. Tidak. Aku tidak akan membeberkan apa yang barusan dieja oleh mulut Uwo di telingaku.
Aku meloncat dari bibir ranjang. Orang-orang saling bersitatap dan mengangkat bahu atau alis mata. Aku bergegas saja menuruni tangga rumah gadang dan meluncur dengan motor.
Tidak dalam waktu yang lama aku sudah kembali ke Rumah Gadang. Aku tidak sendirian. Aku menjemput amanah Uwo.
Ayah menyeru salam untuk pertama kalinya di pintu Rumah Gadang. Orang orang-orang terhenyak. Sejenak tertegun sebelum terlupa membalas kalimat salam. Lalu terdengar gemuruh saling berbisik lindap.
Aku menggiring Ayah ke pembaringan Uwo. Aku merapikan rambut yang jatuh menutup daun telinga Uwo. Dan berbisik. Mata Uwo membuka lamban. Bola matanya yang serupa kaca berdebu bergerak kaku mencari bayang sebuah wajah. Ia mendapati Ayahku yang berdiri rapat di samping ibu. Ayah menangkap mata itu. Ayah meraih tangan kikuk Uwo dengan hati-hati. Uwo merangkul kepala Ayah begitu lekat sehingga tak ada lagi jarak. Aku tersihir. Seumur hidup kali pertama aku melihat mata ayah menjelma sungai. Adat tiga sungai yang bermuara di tepi pembaringan itu. Bahkan, begitu lebatnya hujan di hulu sungai Ayah, membuat luapan yang menggenang di muara.
Entah siapa yang memulai, lalu suara ratap yang bertindihan menyeruak memenuhi ruang itu. Ibu tidak sanggup menahan geletar dalam dirinya ketika nadi dan otot Uwo menegang kaku di rangkulan Ayah. Ayah seperti tiada sanggup melepaskan pagutan jemari Uwo yang dingin membeku di tangannya. Kelopak mata Uwo bagai pintu yang terbuka lebar, dan tak ingin tertutup lagi. Beberapa kerabat silih berganti mengucap inalillah…, bersahut-sahutan.
***
Malam lebaran. Tak ada bulan di atas kuburan. Begitu juga tidak ada percakapan yang riuh di ruang tengah Rumah Gadang. Para takziah dan adik-daik ibu yang lengkap membaca ayat demi ayat ganti berganti dan saling menyimak. Ayah duduk tersandar tak jauh dari dua daun pintu yang dibuka lebar-lebar. Pandangan Ayah tidak jatuh di barisan huruf hijaiyah di pangkuannya, melainkan jauh ke luar menerabas pintu Rumah Gadang. Aku coba menerka, itulah pintu yang dua puluh lima tahun tiada lazim bagi ayah. Aku tidak tahu, apakah itu pintu yang mewakili diri ayah atau Uwo? Entahlah. Di luar, lamat-lamat suara takbiran beterbangan dan mendekat, menyelusup lirih mengalir ke ruangan itu. Barangkali juga ke dalam diri Ayah. (*)
0 Komentar
Silahkan berkomentar sesuai dengan judul artikel,
Kritik dan saran sangat membantu saya dalam memeperbaiki blog ini.
Terima kasih atas kunjungan anda...