Dalam kehidupan berbangsa dan bernegara saat ini, nasionalisme tampaknya hanya sebatas wacana. Nasionalisme telah luntur dan memudar. Akibat lunturnya nasionalisme tersebut, disadari atau tidak, menjadikan negeri ini berada dalam keterpurukan yang tak bertepi.
Pada sisi lain dikatakan, lunturnya nasionalisme memang bisa disebabkan oleh beberapa faktor. Salah satunya yang paling dominan adalah akibat langsung dari gaya hidup hedonisme dan globalisasi. Terutama akibat globalisasi, jelas akan menjadikan jarak dan waktu serta lintas budaya tidak ada lagi benteng atau tamengnya dan mengikis nasionalisme.
Membicarakan nasionalisme sebenarnya tidak bisa dilepaskan dengan pola pikir spiritualisme. Sebab, pada dasarnya antara nasionalisme dan spiritualisme dalam suatu negara akan berjalan seiring. “Untuk itu, agar tak terjadi benturan antara pola pikir untuk menjadikan nasionalisme yang kokoh, bisa dimulai dari revolusi spiritual. Revolusi spiritual berarti mengembalikan lagi nilai-nilai luhur budaya spiritual asli dari bangsa ini. Jika hal tersebut bisa diterapkan akan menciptakan bangsa yang berkepribadian. Bukan sebaliknya, hanya memindahkan paham-paham asing secara utuh yang pada gilirannya akan mengakibatkan bangsa ini menjadi tergoncang, revolusi spiritual dalam rangka mengembalikan nilai-nilai nasionalisme bagi bangsa Indonesia sebenarnya dan harus secepatnya dilakukan. Sebagaimana yang telah dilakukan di Cina, Jepang dan Thailand. Dengan gerakan itu kenyataan modernitas tak pernah mencabut akar budaya nasionalnya. Bahkan, globalisasi yang sangat luar biasa dampak terhadap nilai-nilai luhur bangsa sama sekali tidak akan ada pengaruhnya. “Dari revolusi spiritual yang dilakukan Jepang misalnya, justru membawa Jepang bisa kembali menjadi bangsa besar setelah hancur akibat perang dunia kedua”.
Indonesia yang harus sesegera mungkin melakukan revolusi spiritual, mengingat paham-paham atau ajaran-ajaran spiritual Nusantara kini tengah dibenturkan dengan paham-paham spiritual modern atau asing. Padahal, paham-paham itu tidak cocok dengan budaya kita yang penuh santun, toleransi, dan cinta damai. “Diakui atau tidak, dari ilmu anthropologi, Indonesia disebut sebagai bangsa Peri-Peri atau bangsa pinggiran yang tengah tergoncang oleh peradaban spiritual. Karena itulah hendaknya nilai-nilai spiritual asli harus dibenahi sesuai nilai-nilai luhur bangsa”.
Menengok sejarah masa lalu, terjadinya benturan antara paham-paham asing yang sekiranya tidak cocok dengan kepribadian bangsa Indonesia yang kenyataannya ditolak langsung oleh masyarakat seperti halnya aliran fasisme, fundametalis radikal, dan lainnya; sehingga dengan revolusi spiritual ini diharapkan bisa memurnikan lagi budaya spiritual asli Nusantara dan meng-up grade pemahaman baru untuk ditata dan dicocokkan dengan kultur budaya Nusantara.
Disinggung tentang alasan kebutuhan revolusi spiritual adalah dalam rangka pengembalian nasionalisme yang telah luntur dan memudar, bahwa dengan cara tersebut kiranya akan berjalan aman dan tenang karena yang ditata kembali adalah persoalan jiwa. Lain halnya dengan revolusi fisik atau politik yang kemungkinan besar akan membawa korban yang dalam hal ini adalah rakyat, membentuk suatu bangsa dan negara sebenarnya tak hanya memerlukan tiga persyaratan utama, yakni wilayah, pemerintahaan dan rakyat. Namun dibalik itu sebenarnya masih ada hal pokok lagi yang tak boleh dikesampingkan, yakni jiwa atu ruh melu handarbeni (merasa ikut memiliki) bangsa dan negara serta melestarikan nilai-nilai luhur peradaban. ”Kalau bersifat pasif dan tak merasa ikut memiliki jelas negara ini akan hancur.” Sebaliknya, dengan revolusi spiritual dengan pasti akan menciptakan kebangaan sebagai warga negara. Dengan rasa kebanggaan sebagai warga negara secara secara otomatis akan melahirkan nasionalisme yang kokoh”
0 Komentar
Silahkan berkomentar sesuai dengan judul artikel,
Kritik dan saran sangat membantu saya dalam memeperbaiki blog ini.
Terima kasih atas kunjungan anda...