Recents in Beach

71 Tahun Kemerdekaan Indonesia: Sebuah Renungan Untuk Persatuan & Kesatuan Bangsa Ditengah Ancaman Konflik Horisontal


17 Agustus 2016 kemarin kemerdekaan Republik Indonesia berusia 71 tahun. Sebuah usia yang sudah melebihi separuh abad & sudah cukup tua, dimana 7 dekade lalu Ir. Soekarno & Dr. Moh. Hatta memproklamirkan kemerdekaan Indonesia setelah 350 thn dijajah oleh Belanda & 3,5 thn oleh Jepang.
Perang merebut kemerdekaan telah dilakukan oleh para pejuang nasional, dari barat sampai ke timur. Tak sedikit nyawa pejuang yang gugur demi tegaknya kemerdekaan bangsa ini. Para pejuang ini tak pernah memikirkan kepentingan pribadinya, harta & nyawa mereka pertaruhkan. Tak peduli suku, agama, pangkat atau kedudukan sosial. Semua bahu membahu memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Ketika proklamasi kemerdekaan dikumandangkan ke seantero negeri ini, kita dipersatukan oleh sebuah falsafah hidup bangsa yang bernama PANCASILA. Falsafah ini kelak akan menjadi cara pandang hidup tiap warga negara Indonesia. Sebuah falsafah yang mempersatukan seluruh elemen bangsa yang memiliki ratusan suku & ribuan pulau yang terhampar dari Sabang sampai Merauke.
Namun bagaimanakah sebuah bangsa yang besar ini sampai bisa terjajah hingga ratusan thn oleh bangsa yang notabene memiliki wilayah kecil di benua Eropa & Asia? Keberagaman yang jadi kekuatan & keindahan negeri ini juga sekaligus dapat menjadi sebuah “bumerang” bagi Indonesia. Ibarat pedang bermata dua, kekayaan alam, budaya, agama, dapat menjadi “senjata makan tuan” apabila dirusak oleh orang yang tak bertanggungjawab & ingin mengambil keuntungan dari negeri ini

Secara historis sebenarnya selain Belanda & Jepang ada bangsa lain yang pernah menjajah di Indonesia yaitu: Spanyol (1538 di Tidore), Portugis (1512 di Ternate), Inggris (1811-1816 di pulau Jawa). Bangsa asing berhasil menduduki Indonesia & mengeruk kekayaan alamnya dengan rentang waktu yang sangat lama karena mereka memahami pola pikir bangsa ini yang dapat dengan mudah dipecah belah dengan sentimen primordialis. Belanda berhasil menjalankan strategi “devide et impera”-nya yang terkenal itu bukan tanpa sebab. Mereka paham bahwa orang Indonesia pemikirannya mudah disusupi oleh hal-hal negatif & sensitif untuk memicu konflik. Sebab apabila bangsa ini bersatu akan sulit menjajahnya. Ibarat sebuah sapu lidi yang tebal, untuk mematahkannya harus dipisahkan satu persatu batang lidinya. Seperti itulah akhirnya hingga bangsa ini berhasil ditaklukan.

Pemerintah kolonial Belanda berhasil memisah-misahkan penduduk Indonesia berdasarkan suku, agama, status sosial, keturunan, pendidikan & warna kulit. Belanda menganggap golongan keturunan Eropa (kulit putih) adalah ras tertinggi tingkatannya. Belanda bahkan juga memisahkan sistim hukum yang berlaku untuk wilayah dudukannya. Sebagai contoh: hukum di pulau Jawa, Sumatera, Madura belum tentu sama dengan hukum di pulau Kalimantan atau Sulawesi. Bukan itu saja, pulau di ujung timur Indonesia, Papua, saat itu hanya dijadikan tempat pembuangan tokoh-tokoh pejuang bangsa. Strategi yang hampir sama juga dilakukan oleh Belanda saat menduduki Afrika Selatan, dikenal dg politik Apartheid, politik pemisahan ras.

Perjuangan rakyat Indonesia ketika masih bersifat kedaerahan & banyak yang dipimpin oleh pemuka/tokoh masyarakat, kaum bangsawan hingga Raja/Sultan. Para tokoh-tokoh pemuda Indonesia menyadari bahwa jika perjuangan ini dilakukan sendiri-sendiri maka kemerdekaan yg diimpikan tak akan pernah terwujud. Maka pd 28 Oktober 1928 para pemuda Indonesia berikrar di Kongres Pemuda II di Batavia (Jakarta) utk bersatu demi bangsa. Pd Kongres Pemuda II ini juga merupakan pertama kalinya lagu kebangsaan “Indonesia Raya” diperdengarkan oleh WR Supratman. Pada akhirnya perjuangan kemerdekaan itu terbayarkan saat 17 Agustus 1945 Bung Karno & Bung Hatta memproklamirkan kemerdekaan Indonesia.Proklamasi ini juga merupakan kali pertama bendera Sang Saka Merah Putih dikibarkan.

Kini, 71 thn sudah negeri ini merdeka dari penjajahan. Saat ini Indonesia sedang membangun negeri mengejar berbagai ketertinggalan dari negara lain. Namun sungguh ironis ditengah upaya mengejar ketertinggalan, negeri ini kembali didera isu-isu sentimen negatif terhadap sebagian kelompok masyarakat. Benih-benih perpecahan konflik horisontal antar elemen yang sudah ada sejak era penjajahan kolonial Belanda kembali dimunculkan oleh oknum-oknum provokator. Orang Indonesia saat ini begitu mudah diprovokasi dengan isu sensitif utk menyerang pihak lain yg dianggap lemah.
Kemajuan teknologi makin mempermudah menyebarnya “virus” provokasi ke berbagai kalangan. Informasi yang blm jelas kebenarannya langsung disebarluaskan tanpa ada klarifikasi atau konfirmasi lebih dulu pada sumber yang sebenarnya. Generasi muda lebih rentan dengan isu-isu ini krn kurangnya pemahaman tentang sejarah bangsa.

Berbagai kasus yg dipicu dari isu-isu sensitif dari keagamaan, sukuisme, status sosial kerap terjadi di berbagai tempat di Indonesia. Bahkan sudah bisa dikatakan mengkhawatirkan. Tindakan yang didasari emosi, langsung ditanggapi dengan aksi anarkis hingga brutal. Tak sedikit korban berjatuhan, bahkan aparat keamanan pun tak jarang jadi korban.

Tidak adanya rasa saling hormat menghormati, tenggang rasa, saling menghargai saat ini jadi barang langka yg dimiliki oleh bangsa Indonesia. Saat SD dulu mungkin kita pernah dengar dg kalimat “Tepa Selira”. Kalimat ini memiliki arti dlm bahasa Jawa yang bermakna “mengukur segala sesuatu dengan diri sendiri”. Maksudnya adalah Hidup di dunia ini timbal-balik, balas membalas. Alangkah baiknya kalau dalam kehidupan sehari-hari, kita tidak melakukan hal-hal yang kita sendiri ingin diperlakukan. Bila kita ingin melakukan sesuatu kepada seseorang, apakah berbicara atau bertindak sesuatu, tanyakan lebih dahulu pada diri kita sendiri. Suka apa tidak diperlakukan seperti itu. Bila tidak suka, lebih baik dihentikan saja, omongan atau tindakan yang akan kita lakukan.

Jika kita ingin melakukan sesuatu yang di nilai tdk baik atau bisa berakibat buruk pd orang lain, pikirkanlah dulu. Jika orang lain hendak melakukan itu pada diri kita hadapi dengan kebaikan. Bukankah tiap agama mengajarkan untuk berbuat kebaikan pada semua orang?

Di usia kemerdekaan yang sudah menginjak 7 dekade ini merupakan waktu sangat baik jika kita kembali merenungkan makna kemerdekaan yang hakiki. Para pejuang tidak berharap negeri ini pecah perang saudara hanya karena tidak adanya rasanya saling menghormati, saling menghargai, saling tenggang rasa menjaga perasaan masing-masing. Para pejuang menginginkan negeri ini berjaya selamanya untuk membayarkan pengorbanan mereka demi kemerdekaan Indonesia. Tanpa kenal lelah, pantang menyerah, tak ada batasan suku, agama, pangkat, mereka berjuang tanpa meminta pamrih. Cukuplah kita sebagai generasi penerus ini mengisi kemerdekaan untuk membangun negeri. Semua demi rasa cinta tanah air & jiwa nasionalisme pada negeri.
Semoga Allah selalu memberkahi & merahmati bangsa Indonesia.
Dirgahayu Ke-71 Republik Indonesia….
Jayalah selalu bangsaku…..Bangunlah jiwanya, Bangunlah badannya untuk Indonesia Raya…..

Posting Komentar

0 Komentar