Recents in Beach

SEBUAH BAHAN RENUNGAN LAGI - Kita dan Hiperealitas

Hiperealitas adalah ketidakmampuan kesadaran manusia membedakan kenyataan dan fantasi, khususnya dalam kehidupan berteknologi tinggi. Nyata tanpa kenyataan.
Hiperealitas, hampir selalu lebih menyenangkan ketimbang realitas. Bahkan ia dianggap lebih nyata dibanding realitas. Itu sebabnya kita selalu melihat orang sibuk dengan ponselnya saat perjalanan di kereta, di ruang tunggu, bahkan ketika makan malam dengan pasangan. Mereka (atau kita semua) menganggap apa yang kita temukan di internet, media sosial, messanger, itu lebih menarik ketimbang berbincang dengan orang di sebelah atau melihat pemandangan sekitar. Makin sering kita melakukannya, makin terikat pula kita dengan hiperealitas.
Kita bisa kasmaran dengan seseorang di Facebook yang belum pernah kita temui hanya karena fotonya. Bisa dengan mudahnya menghina orang lain di Twitter, padahal kita adalah orang yang santun di kehidupan sehari-hari. Atau, dengan gampangnya merendahkan keyakinan orang lain di internet, tapi (tentu saja) tak berani melakukannya terang-terangan di dunia nyata. Jadi, siapakah kita sebenarnya? Kita yang di kehidupan sehari-hari atau kita di internet?
Dalam derasnya arus informasi, setiap individu bergerak bebas menentukan persepsinya. Meski melahirkan pemahaman dan makna baru, tapi juga membuat kebenaran makin sulit didapat.
Pernahkah anda punya teman yang sehari-hari begitu lembut dan ramah tapi judesnya bukan main di media sosial? Atau, seorang teman yang galaknya minta ampun di Facebook tapi sangat pemalu dan pendiam di dunia nyata? Jadi, yang mana kepribadian orisinil teman kita itu?
E-personality menjelaskan tentang perbedaan sifat manusia di dunia maya dan dunia nyata. E-personality sangat mungkin mengarah ke gangguan mental yang disebabkan trauma, kemarahan, kekecewaan, obsesi, kebingungan yang bertumpuk dan terpendam. Semua itu ditumpahkan di internet, termasuk media sosial, dalam bentuk kepribadian yang berbeda.
Kepribadian ini terputus dengan kepribadian asli dan kenyataan di sekitar. Seperti itu lah penyakit kejiwaan schizophrenia didefinisikan. Hiperealitas dan E-personality bisa membawa kita ke schizophrenia bila tidak mampu lagi bertindak rasional di 'dua alam' dan melakukannya secara kontinyu serta kehilangan kontrol.
Misal, merasa diri kita sungguh hebat dan dihormati orang karena punya banyak follower dan liker di media sosial. Sehingga, kemanapun kita pergi, kita merasa jadi selebriti dan menuntut dihormati. Mungkin terdengar lucu.
Tapi saya punya teman model begini. Punya puluhan ribu follower di akun Twitter pribadi, ia merasa kemana-mana sebagai artis dan menganggap semua orang mengenalnya. Pernah suatu ketika ia nongkrong di sebuah kafe dan mengundang followernya untuk 'jumpa fans'. Tapi tidak ada satu pun yang datang. Di timeline ia mengamuk. Untungnya, teman ini masih punya kontrol dan tak terus-menerus begitu.
Hiperealitas bukan hanya monopoli entitas internet, tapi juga media mainstream. Sindromnya bahkan bisa menyerang praktisi media itu sendiri. Ketika Pemilu 2014 lalu, teman-teman wartawan dari surat kabar lokal di daerah saya ramai-ramai maju jadi Caleg DPRD tingkat kota sampai DPR. Mereka menganggap sering tampil di surat kabar (sendiri), punya relasi luas dan mampu mengendalikan isu pemberitaan, cukup untuk menggerakkan pemilih di bilik suara. Mereka merasa realitas di media itu sama dengan realitas publik atau dunia nyata. Tapi tak ada satu orang pun yang terpilih.
Hiperealitas membawa kita pada situasi punya banyak teman di Facebook, tapi tak punya sahabat di kehidupan nyata. Sering berbincang dengan seseorang di negara lain, tapi tak kenal tetangga sendiri. Makin punya banyak informasi, tapi makin jauh dari fakta. Makin berilmu, tapi makin emosional dan impulsif. Makin terhubung, tapi makin minim tindakan. Sehari menghabiskan waktu 2-3 jam untuk chatting, tapi makin jarang ngobrol dengan anak atau pasangan.
Lihatlah foto-foto Facebook kita. Begitu tampan, cantik, sukses dan bahagia. Berfoto di depan mobil atau tempat wisata luar negeri. Lalu bandingkan dengan wajah kita di cermin atau saldo tabungan pribadi. Kita jadi mudah menilai orang dari apa yang ia hadirkan di internet. Dari tulisannya kita anggap ia pandai, dari update statusnya kita anggap ia baik hati, atau dari fotonya kita anggap ia punya fisik tanpa cela. Padahal kita tak pernah ketemu orang itu.
Kita dengan mudah mengabaikan hal-hal lain yang hidup di luar hiperealitas. Kita bisa tampil begitu peduli dan empatik di media sosial, tapi di saat yang sama bisa sangat apatis dan permisif di dunia nyata. Media sosial buat pergaulan kita makin luas, tapi kita makin antisosial. Kita dengan mudah ikut 'save ini' atau 'save itu', tapi belum tentu bersedia bertindak secara nyata. Kita dengan semangat ikut berkabung atas kematian Angeline di media sosial, tapi belum tentu mau melapor ke polisi bila punya tetangga yang tiap hari memukuli anaknya.
Siapa kita sebenarnya?

Posting Komentar

0 Komentar